Ibn ‘Arabi

A. Riwayat Hidup Ibn ‘Arabi

Ibn ‘Arabi, nama lengkapnya adalah Muhyi al-din Abu ‘Abd Allah Muhammad bin ‘Ali Bin Muhammad bin Ahmad bin ‘Abd Allah al-Hatmi at-Ta’i. Ia adalah seorang pemikir sufi yang sangat terkenal dalam dunia Islam. Ia juga merupakan seorang pemikir yang selalu menampilkan gagasan keagamaan yang tidak lazim, selama hidupnya tak jarang Ibn ‘Arabi mendapat kecaman dan perlawanan dari berbagai kalangan, terutama kelompok ahli fikih yang terkenal literalis dan formalis, di antaranya adalah Ibn Taymiyyah dan Ibn al-Qayyim al-Jawzi. Ia dilahirkan di Murcia Andalusia, Spanyol bagian tenggara, 17 Ramad}an 560 H / 28 Juli 1165 M, pada masa pemerintahan Muhammad ibn Sa’id ibn Mardanisy. Ada pula yang mengatakan lahir pada tanggal 28 Rabi’ul Awwal 638 / 16 November 1240. Menurut Afifi, Ibn ‘Arabi berasal dari keluarga keturunan Arab yang saleh, dimana sang ayah dan ketiga pamannya dari jalur sang ibu adalah tokoh sufi yang terkenal, dan ia sendiri digelari Muhy ad-Din (penghidup agama) dan al-Syaikh al-Akbar (Doktor Maximus), karena gagasan-gagasannya yang besar terutama dalam mistik. Belum ada seorang tokoh muslim yang mencapai posisi sebagaimana kedudukannya. Ibn ‘Arabi wafat (baca: meninggal) di Damaskus dan di makamkan disana, pada tanggal 22 Rabi al-Tsani 638 H/Nopember 1240 M, dalam usia 78 tahun.

Pendidikannya berawal kala usianya delapan tahun, ketika keluarganya pindah ke Seville, di tempat inilah Ibn ‘Arabi kecil mulai belajar al-Qur’an dan fikih. Karena kecerdasannya yang luar biasa dalam belasan tahun usianya, ia diangkat menjadi sekretaris (katib) beberapa Gubernur di Seville. Yang perlu dicatat adalah kota Seville pada waktu itu merupakan kota ilmu pengetahuan dan menjadi pusat kegiatan sufisme. Kondisi keluarga dan lingkungan yang kondusif dan kaya akan dialektika keilmuan mempercepat pembentukan akan kematangan keilmuan yang dimilikinya. Di kota Seville ini pulalah kala melakukan safari ke pelbagai kota di Spanyol, Ibn ‘Arabi muda bertemu dengan Ibnu Rusyd (1126-1198 M).
Ketika usianya menginjak 30 tahun, Ibn ‘Arabi mulai berkelana dalam rangka menuntut ilmu. Mula-mula ia mendatangi kota pusat ilmu pengetahuan Islam di semenanjung Andalusia, kemudian ia pergi ke Tunis untuk menemani Abd al-Aziz al-Mahdawi (seorang ahli tasawuf), dan pada tahun 594 H / 198 M ia pergi ke Fez, Maroko, di kota ini dia menulis kitab al-isra' (perjalanan malam). Dan pada tahun berikutnya ia kembali ke Cordoba dan sempat menghadiri pemakaman Ibn Rusyd, kemudian ia pergi ke Almeira dan di sini ia menulis kitab mawaqi’ al-nujum (posisi planet). Pada tahun 598 H / 1202 M. Ibn ‘Arabi pergi ke kota suci Mekkah untuk menunaikan ibadah haji.

Menurut pengakuannya, ia melakukan (baca: pergi) ke kota suci Mekkah karena mendapatkan ilham dari Allah SWT. Kala di kota suci Makkah ia tinggal di dekat Ka’bah dan hari-harinya diisi dengan kegiatan thawaf, membaca al-Qur’an dan i’tikaf sehingga ia merasakan adanya kontak dibalik suasana kerohaniannya itu. Berdasarkan kontak rohaninya, Ibn ‘Arabi menulis kitab yaitu Taj al-Rasa’il (mahkota risalah), ruh al-Qudus, dan Futuhat al-Makkiyyah (penaklukan mekkah). Menurutnya karya terakhir merupakan karya terbesar karena diterima langsung dari Allah SWT melalui ilham samawi, dengan kata lain, kitab Futuhat al-Makkiyyah dalam penulisannya didektekan langsung oleh Tuhan (Allah) melalui ilham, kata per kata.

Kemudian juga, di kota Mekkah inilah , Ibn ‘Arabi bertemu dengan seorang pemudi cantik, cerdas, shalihah, dan takwa yakni suatu figur wanita ideal yang bernama Ain Syams Nizam. Dalam perjumpaanya dengan wanita Ain Syams Nizam pada akhirnya menjadi sumber inspirasinya baginya dalam merangkai sya’ir yang kemudian dihimpun dalam kitab Turjuman al-Ashwaq (terjemahan rasa cinta) dan banyak lagi karya-karya yang lainnya.
Setelah ia melakukan lawatan (kunjungan) ke pelbagai negara Islam, pada akhirnya ia memilih untuk menetap di Damaskus sampai akhirnya beliau wafat. Ibn ‘Arabi hidup sezaman dengan para sufi besar lainnya seperti, Suhrawardi, Najmuddin ar-Razi, Muslihuddin Sa’di, Abu Hasan al-Magribi asy-Syadzili, Jalaluddin Rumi dan Ibnul Faridh.

B. Epistemologi Menurut Ibn ‘Arabi

Istilah epistemologi sebenarnya hampir sama tuanya dengan umur filsafat itu sendiri. Platon telah berupaya membahas masalah ini dalam rangka untuk mencari jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan ; apakah pengetahuan itu, dari mana pengetahuan itu diperoleh, dapatkan akal menemukan pengetahuan.

Sedangkan Ibn ‘Arabi dalam menjelaskan tentang epistemologi nampaknya agak berbeda dengan apa yang biasa dipahami dalam terminologi filsafat. Mistisisme Ibn ‘Arabi merupakan muara dari filsafat mistisnya. Dengan kata lain, epistemologi dalam konstruksi pemikiran Ibn ‘Arabi harus dipahami sebagai bangunan teori untuk memperoleh pengetahuan melalui mistiknya. Barangkali yang menjadi titik persamaan dengan pengertian epistemologi dalam semesta filsafat adalah sama-sama untuk menghilangkan skeptisisme.

Ibn ‘Arabi membedakan pengetahuan menjadi dua macam. Pertama, al-ma’rifat yang ia artikan sebagai “pengetahuan dengan pengenalan” yang secara eksklusif termasuk dalam jiwa. Kedua, al-Ilm, yang ia artikan sebagai pengetahuan intelek atau pemahaman luas. Dari pengklasifikasian ini, kita dirujuk olehnya untuk memahami doktrin teosofinya yang secara sistematis berawal dari uraian tentang jenis-jenis proposisi. Secara umum, ungkap Ibn ‘Arabi, semua pengetahuan dapat diperoleh melalui enam indera, lima indera biasa dan ditambah satu yaitu, intelek.

Proposisi atau penilaian menurut Ibn ‘Arabi dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu proposisi wajib dan proposisi kontigensi. Proposisi wajib pada dasarnya benar. Proposisi wajib meliputi : pertama, semua penilaian perseptual, tanpa dimasuki oleh pemahaman. Kedua, penilaian apriori dari logika formal, penilaian intelektual yang ada dengan sendirinya. Ketiga, penilaian intuitif atau esoterik.

Sedangkan proposisi kontigensi adalah proposisi atau penilaian-penilaian yang berdasarkan pemahaman dan indera-indera secara bersamaan. Proposisi kontigensi kadar kebenarannya adalah relatif, bisa salah dan bisa benar.

Menurut Ibn ‘Arabi bagian dari proposisi yang wajib yaitu, pengetahuan esoteris atau intuituf merupakan pengetahuan yang paling urgen (penting) dan sekaligus merupakan inti dari filsafat mistisnya tentang pengetahuan. Dalam istilah lain, sebagaimana dikutip oleh Rivay Siregar dalam bukunya “Tasawuf : Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme” bahwa jenis ini merupakan perjumpaan dengan pelbagai realitas dari segala sesuatu sebagaimana adanya. Dalam gugusan pemikiran Ibn ‘Arabi, realitas merupakan landasan pijak dari segala sesuatu, yang disebutnya dengan Haqiqat al-Haqaiq. Nampaknya pada akhirnya hal ini diadopsi oleh filsuf Barat yaitu Benedict Spinoza, dalam diktumnya ia menyebutkan bahwa “semua adalah satu, dan yang satu itu bersifat Ilahi”.

Dari hantaran sederhana di atas, epistemologi Ibn ‘Arabi ini dapat dilihat, bahwa ada titik perbedaan yang sangat mencolok antara seorang konstruksi pengetahuan yang dibangun oleh seorang filsuf dengan seorang mistikus yang beriman. Dengan kata lain, seorang filsuf tidak mampu berada di luar pernyataan transendensi absolut dari Tuhan. Akan tetapi, seorang mistikus yang beriman mengetahui secara langsung dengan dzauqnya akan aspek transendensi dan immanensi dari realitas tersebut. Hantaran ini dimaksudkan untuk mempermudah kita dalam rangka untuk memahami konsep Wah}dah al-Wuju.

Konsep Wahdah al-Wujud Ibn ‘Arabi
A. Pengertian Wahdah al-Wujud

Konsep wahdah al-wujud memiliki pelbagai pengertian tergantung kepada tokoh yang memahami dan menghayatinya. Dalam studi barat, terminologi wahdah al-wuju


DAFTAR PUTAKA
  • Abd. A’la. Melampaui Agama, Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2002.
  • Abdul Aziz. Tasawwuf Sunni dan Tasawuf Sufi: Tinjauan Filosofis, Ulumul Qur’an 1991, (Vol. II), 28.
  • Afifi. (.tt). Filsafat Mistis Ibn ‘Arabi. Terj. Nandi Rahman.1989. Jakarta : Media Pratama.
  • al-Biqa‘i, Burhan al-Din. Masra‘ al-Tashawwuf, aw, Tanbih al-Ghabi ila Takfir Ibn ‘Arabi ed. ‘Abd ar-Rahman al-Wakil, Bilbis: Dar al-Taqwa, 1989.
  • al-Suyuthi. Tanbih al-Ghabi fi Takhti’ati Ibn ‘Arabi>, ed. ‘Abd ar-Rahman Hasan Mahmud, Kairo: Maktabat al-Adab, 1990.
  • Arberry. Sufism An Accoun of the Mystics of Islam, London : Unwin Paperback, 1975.
  • Chittick, C. William. Imaginal Worlds: Ibn ‘Arabi and the problem of religious Diversity, Al Bany: State University of New York Press, 1994
  • Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam , cet. IV, Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2000.
  • Hasyimasah. (.Tt). Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Intermasa.
  • Hadiwijoyo, Harun. 1985. Kebatinan Islam Abad XVI , Jakarta : Gunung Mulia.
  • Ibn ‘Arabi. Futuhat al-Makkiyah, (Vol. II) Kairo : al-Maktabah al-Arabiyah, 1979.
  • ............., Fushus al-Hikam, Kairo: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1946.
  • Sangidu. Wachdatul Wujud, Yogyakarta: Gama Media, 2003.
  • Schimmel, Annemarie. (.tt). Rahasia Wajah Suci Ilahi. Terj. Rahmani Astuti. Bandung : Mizan, 2003.
  • Simuh. 1989. Sufisme Jawa Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik, Yogyakarta : Bentang Pustaka, 1989.
  • Siregar, A. Rivay, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, Jakarta : PT RajaGrasindo Persada, 1999.
  • Taftazani. (.tt). Sufi Dari Zaman ke Zaman. Terj. A. Rafi Usman. 1985. Bandung : Pustaka
  • Azhari Noer, Kautsar. 1995. Ibn ‘Arabi Wahdah al-wujud dalam perdebatan, Jakarta: Paramadina
Bookmark and Share
Tags: , ,

    You may also like :

bepemedia

Creative Communication Solutions
Internet Solutions

0 comments

Leave a Reply