Demam Rumi

Cerita Sampul
Sumber: Koran Tempo

Jika dia masih hidup dan terus selamat melewati berbagai zaman, usianya kini 800 tahun. Tapi Jalaluddin Rumi, tentu saja, sudah meninggalkan dunia ini lebih dari 700 tahun lalu. Namanyalah yang masih bergaung hingga kini, berkat apa yang diwariskannya, sampai UNESCO, badan PBB yang mengurusi pendidikan dan kebudayaan, menyetujui usulan Turki untuk menjadikan tahun ini sebagai Tahun Internasional Rumi.

Segera setelah keputusan UNESCO itu diumumkan, Iran, Turki, dan Afganistan pun sibuk. Di tiga negara yang pernah menjadi tempat hidup Rumi ini sejumlah rencana kegiatan ditetapkan dan satu per satu dilaksanakan sepanjang tahun untuk memperingati sang penyair dan karya-karyanya. Misalnya, yang paling lazim, adalah konferensi internasional, yang berlangsung dua kali, hasil kerja sama Iran dan Turki, serta Iran dan Afganistan.

Kegiatan-kegiatan lain meliputi: penerbitan Matsnawi, buku Rumi yang paling populer, dalam bahasa (bilingual) Persia dan Turki; penerbitan kamus idiom Turki-Persia; dan berbagai konser oleh artis dari Iran yang berlangsung di Turki. Ada pula proyek-proyek pembuatan film dan dokumenter mengenai kehidupan Rumi, di antaranya adalah kerja sama dari negara-negara terkait. Film buatan Turki tentang Rumi, Seven Cities, pun diputar di Cannes International Film Festival, Mei lalu. Sementara itu, sebuah proyek berjudul “The Cultural Train of Rumi’s Love and Patience” akan dibawa keliling ke 17 negara Eropa.

Pendeknya, boleh dibilang ada demam Rumi sepanjang tahun ini --sebuah peristiwa yang sesungguhnya hanya menggarisbawahi saja, dengan tinta yang tebal, kebesaran Rumi yang selama ini tak pernah dirayakan. Sajian di Cerita Sampul kali ini hanya sebagian kecil dari gegap gempita itu.

Rumi, yang dilahirkan di Balkha (dulu bagian dari Khorasan Raya, Iran; kini wilayah Afganistan) pada 30 September 1207, memang fenomena yang mungkin akan berlangsung sepanjang masa. Dia telah menyentuh hati begitu banyak --tak terhitung jumlahnya --orang selama ratusan tahun; dan tak ada alasan bahwa dia tak bakal sanggup melakukannya lagi di masa-masa mendatang. Sejumlah figur terkemuka langsung maupun tidak langsung mengaku terpengaruh. Friedrich Hegel melihatnya sebagai salah satu penyair dan pemikir terbesar dalam sejarah dunia. Goethe memperoleh inspirasi dari puisinya. Jami, penyair dari Persia, berkata tentang Rumi: “Dia bukan nabi, tapi telah menulis Kitab Suci.”

Masih ada contoh lain. Gandhi kerap mengutipnya, terutama tentang “Bersatu adalah penyebab kita datang/Terpecah bukanlah tujuan kita”. Pada 1958, Paus John XXIII menulis sebuah pesan istimewa: “Atas nama dunia Katolik, saya tunduk dengan hormat di hadapan kenangan atas Maulana”. Di sini bahkan grup musik Dewa 19 pun tak ketinggalan.

Hingga kini orisinalitas karya-karyanya masih kukuh. Terpaan zaman tak membuatnya lekang. Dan boleh dibilang, dunia saat ini justru berada dalam masa yang mungkin sangat membutuhkan dirinya dan filsafatnya, lebih daripada masa-masa yang lain. Di masa ketika hak asasi manusia kian diabaikan, akibat meningkatnya konflik etnis dan agama, semakin terasa betapa keyakinan terus-menerus terhadap manusia dan tujuan-tujuan damai demi dunia yang lebih baik hanya bisa dicapai melalui jalan yang telah dilalui orang-orang seperti Rumi.
Bookmark and Share
Tags:

    You may also like :

bepemedia

Creative Communication Solutions
Internet Solutions

0 comments

Leave a Reply