Sang Penakluk dari Persia

Cerita Sampul
Sumber: Koran Tempo

Disetarakan dengan Shakespeare, tapi secara kultural dia lebih penting.

Jalaludin Rumi adalah pesona yang menaklukkan. Dia mungkin seperti Raja Khsyayarsya (Xerxes), yang meluaskan kekuasaan dan pengaruh Persia antara 485-465 Sebelum Masehi. Bedanya, Rumi sama sekali tak pernah ofensif, tidak juga dengan menghunus pedang. Mereka yang tunduk kepadanya, semua melakukannya dengan sukarela, dengan takjub yang meluap.

Dia seorang penyair. Tapi bukan sembarang penyair. Senjatanya, tentu saja, adalah susunan kata-kata. Dalam bahasa aslinya, Persia, kata-katanya kerap dibandingkan dengan Alquran. Simaklah sebait puisi berjudul Tubuhku Berdaki (terjemahan Sapardi Djoko Damono yang terdapat dalam versi Indonesia dari buku Jalaluddin Rumi: Sufi Penyair Terbesar, karya Abul Hasan An-Nadwi) ini:

Tubuhku berdaki Menerangi langit; Malaikat iri Melihatku melejit.

Dengan larik-larik yang ringkas seperti itu pun, puisinya mengandung daya yang mampu membekukan waktu di sekeliling orang yang membacanya; orang itu lalu bagaikan keluar dari dirinya, meninggalkan hal-hal yang menyita perhatiannya di dunia ini. Frase “keluar dari diri sendiri”, dalam bahasa Yunani, adalah akar dari kata “ekstase”.

Karena hal itulah, antara lain, selama berabad-abad, popularitas Rumi di wilayah yang berbahasa Persia boleh dibilang setara dengan William Shakespeare di Barat. Bedanya, secara kultural, Rumi jauh lebih penting. Dia hadir dalam musik tradisional Persia; sudah lazim puisinya digunakan sebagai lirik. Tapi bukan itu saja. Puisinya bahkan muncul dalam musik pop Persia yang direkam dewasa ini. Banyak warga Persia yang juga hafal sajak, atau bahkan seluruh halaman buku, karyanya. Dengan kata lain, meminjam kata-kata David Fideler, yang menerjemahkan sejumlah karya Rumi dan mengumpulkannya dengan puisi-puisi Persia lainnya dalam Love’s Alchemy, “dia masih menjadi bagian dari kultur yang hidup”. Padahal dia sudah meninggal lebih dari 700 tahun lalu.

Persia, sesungguhnya, hanya sebagian saja dari jangkauan pengaruh Rumi. Pembaca puisinya ada di mana-mana di dunia ini. Begitu pula pemujanya dan pengamal ajarannya --di Timur maupun di Barat. Ujian popularitas paling gampang, di zaman Internet ini, adalah melalui Google. Memasukkan kata kunci “Rumi” di mesin pencari nomor satu sejagat itu dan mengeksekusinya, akan didapat empat jutaan hasil, yaitu halaman web yang memuat kata “Rumi”. Jumlah ini setengah dari hasil untuk kata kunci “The Rolling Stones”, grup rock paling laris; “Shakespeare”, sementara itu, menghasilkan tiga jutaan.

Dengan modifikasi kata kunci, bisa didapatkan juga sejumlah lelaman (website) dalam bahasa Indonesia, dengan aneka kandungan mengenai Rumi. Yang khusus didedikasikan untuk Rumi, misalnya, adalah blog Rumi Sufi Cafe di http://rumisuficafe.blogspot.com/ milik Arief Hamdani, Presiden Rabbani Sufi Institute Indonesia. “Mari kemari, datang... datanglah mari kemari datanglah siapa pun dirimu....” sebuah cuplikan sajak Rumi menyambut pengunjung.

Yang tak kalah mengesankan: penyebaran popularitas itu bisa berlangsung kapan saja, sampai saat ini. Dengan kata lain, waktu bukanlah (dan tak pernah menjadi) rintangan; Rumi tak pernah ketinggalan zaman.

Coba tengok di Amerika Serikat. Di negara ini nama Rumi baru dikenal sekitar tiga dasawarsa yang lalu. Kini dia termasuk penyair paling populer di sana. Sampai dua tahun lalu, kelas-kelas yang mengajarkan dan membahas karya-karyanya di berbagai universitas bertumbuhan. Ceramah terbuka tentang dirinya dan pembacaan puisinya bahkan diumumkan di halaman budaya koran-koran di hampir setiap kota.

Dan mungkin ini ukuran popularitas yang betapapun banal tetap tak kalah pentingnya: sekelompok selebritas Hollywood telah merekam puisi-puisinya (A Gift of Love), di antaranya Madonna, Goldie Hawn, dan Deepak Chopra. (Walau bukan bagian dari demam itu, Yusuf Islam, penyanyi-pencipta lagu dari Inggris yang dulu tenar dengan nama Cat Stevens, menyelipkan karya Rumi dalam lagu berjudul Whispers from a Spiritual Garden di album pop terbarunya selama hampir 30 tahun, An Other Cup.)

Dimensi Rumi-mania di Amerika, jika tidak dalam skala yang sama dengan, katakanlah, Beatle-mania pada 1960-an, bagaimanapun bukan main-main. “Ini kasus Rumi-mania yang berat,” Kimberly Winston menulis di harian Dallas Morning News. Buku karya Rumi disebut-sebut terjual lebih banyak ketimbang penyair lain. Kalender Rumi, cangkir kopi, bahkan kaos oblong bermunculan di kampus-kampus dan toko buku di seluruh penjuru negeri.

Menurut Phyllis Tickle, redaktur majalah Publisher’s Weekily, popularitas Rumi di Amerika berkembang pesat “berkaitan dengan dahaga spiritual kami yang luar biasa”.

Pendapat Tickle senada dengan Coleman Barks, penyair kelahiran Chattanooga, Tennessee, yang menerjemahkan Rumi sejak 1976 (buku-bukunya antara lain The Hand of Poetry, Five Mystic Poets of Persia, dan The Essential Rumi) dan menjadi faktor penting dalam demam Rumi di sana. Dia mengatakan kandungan ekstatik puisi-puisi Rumi bergaung di dalam diri warga Amerika yang memang mencari kualitas spiritual serupa itu. “Pertanyaan puitik Rumi, ‘Dari mana aku datang dan apa yang harus aku lakukan?’ berbicara langsung kepada warga Amerika yang terhitung jumlahnya, yang punya perasaan spiritual kuat,” katanya.

***

Spiritualitas memang kandungan terbesar puisi-puisi Rumi. Dia seperti ditakdirkan untuk itu.

Fariduddin Attar, salah satu penyair mistik terbesar Persia, seketika mengenali potensi Rumi ketika mereka bertemu di Nishapur (kini berada di Provinsi Khorasan, Iran); waktu itu Rumi ikut dalam rombongan ayahnya, Bahauddin Walad, ulama dan ahli mistik, yang sedang dalam perjalanan menuju Anatolia (Turki). Melihat sang ayah berjalan di depan diikuti oleh sang anak, Attar berkata, “Ini dia lautan yang diikuti samudera.” Kepada Rumi, Attar lalu memberikan Asrarnama, sejilid buku tentang jiwa yang bingung di dalam dunia yang serba materialistis.

Riwayat lain, seperti diceritakan kembali oleh Annemarie Schimmel (Akulah Angin Engkaulah Api: Hidup dan Karya Jalaluddin Rumi, Mizan), meragukan kebenaran pertemuan itu. Dia menyebutkan ada kemungkin kisah mengenai pertemuan itu diada-adakan oleh para ahli hagiografi, untuk menunjukkan ikatan yang kuat antara Attar dan Rumi.

Apa pun kejadiannya, Rumi justru tidak belajar sufisme langsung kepada ayahnya. Bahauddin Walad, yang bergelar Sulthanul Ulama, sebenarnya adalah ulama dan guru sufi yang berkharisma besar (ada kalangan yang mengurutkan nasabnya hingga ke Abubakar Asshiddiq, pemimpin Islam atau kalifah pertama sepeninggal Nabi Muhammad, tapi klaim ini ditepis oleh para sarjana modern). Fatwanya senantiasa didengar orang dari berbagai kalangan, di mana-mana. Dia tinggal di Balkha, kini salah satu wilayah Afganistan, sebelum hijrah dan menetap di Anatolia.

Di Balkha itulah Rumi dilahirkan pada 6 Rabiulawal 604 Hijriah (30 September 1207). Orang tuanya memberi dia nama Jalaluddin Muhammad Balkhi. Seperti halnya “Balkhi”, yang menandai dari mana asalnya, “Rumi” digunakan belakangan untuk menyebut tempat dia menetap hingga meninggal, yakni kawasan yang masuk ke dalam wilayah Kekaisaran Romawi Timur.

Rumi menghabiskan masa remajanya --seperti halnya kebanyakan muslim ketika itu --untuk belajar dan mengkaji bahasa Arab, fikih, hadis, sejarah, Alquran, teologi, filsafat, matematika, dan astronomi. Ketika ayahnya memutuskan untuk meninggalkan Balkha, pada masa pasukan Mongol menyerbu Asia Tengah, Rumi, saat itu berusia 11 tahun, ikut dalam rombongan. Dalam perjalanan, mereka singgah di Samarkand, Bagdad, Mekah, dan Damaskus, sebelum akhirnya menetap di Konya (Kauniyah), Anatolia, atas undangan penguasa Anatolia. Di kota ini ayahnya mengasuh sebuah madrasah.

Rumi baru mempelajari ajaran mistik, melalui peninggalan ayahnya, berkat bimbingan Sayid Burhanuddin Muhaqqiq, salah seorang murid ayahnya, selama sembilan tahun --sampai Burhanuddin meninggal pada 1240. Waktu itu Rumi sudah menggantikan ayahnya, yang tutup usia, memimpin madrasah. Usianya baru 24 tahun.

Meski berselang-seling dengan kepergiannya ke sejumlah tempat untuk berguru kepada ulama lain, hidupnya cenderung teratur. Kesibukannya yang paling pokok adalah mengajar. Tapi rutinitas ini berubah drastis setelah bertemu dengan Muhammad bin Ali bin Malid Daud atau yang lebih dikenal dengan Syamsi (Syamsuddin) Tabriz pada akhir musim gugur 1244. Syamsi adalah seorang darwis (sufi yang memilih hidup miskin) yang telah mengembara ke seluruh penjuru Timur Tengah untuk mencari dan mendoakan seseorang yang bisa “menanggung kehadiranku”. Suatu kali dia mendengar suara, “Apa yang akan kau berikan sebagai gantinya?” “Kepalaku!” “Yang kau cari adalah Jalaluddin dari Konya.”

Kepada Rumi, saat mereka bertemu untuk pertama kalinya, Syamsi mengajukan satu pertanyaan yang membuat Rumi pingsan. Konon, Syamsi bertanya siapa yang lebih agung, Muhammad Rasulullah atau sufi Bayazid Bisthami. Menurut riwayat, Bayazid pernah berkata, “Subhani” atau “Mahasuci diriku, Betapa agungnya kekuasaanku”, sedangkan Muhammad dalam doanya berkata, “Kami tidak mengenal-Mu seperti seharusnya”.

Sejak pertemuan pertama, kedua orang itu sulit dipisahkan. Mereka saling berbagi pengalaman mistik; percakapan di antara mereka bisa berlangsung berbulan-bulan, sepanjang siang hingga malam. Syamsi yang misterius itu menjadi semacam mentor spiritual bagi Rumi, yang menuntunnya ke tempat-tempat kontemplasi di dalam jiwanya, yang selama ini tak pernah dia kunjungi. Tentang hal ini, di kemudian hari Rumi mengakuinya. “Dialah yang mempertebal keyakinan dan keimananku,” katanya.

Eratnya hubungan Rumi dengan Syamsi mengesalkan murid-muridnya, yang merasa jadi terabaikan. Sultan Walad, seorang putra Rumi, berkata, “Sesungguhnya seorang guru besar tiba-tiba menjadi seorang murid kecil. Setiap hari sang guru besar harus menimba ilmu darinya, meski sebenarnya beliau cukup alim dan zuhud. Tetapi itulah kenyataannya. Dalam diri (Syamsi) Tabriz, guru besar itu melihat kandungan ilmu yang tiada taranya.”

Perasaan benci di kalangan murid-murid Rumi kian tak terbendung. Fitnah pun tersebar. Menyadari hal ini, pada 5 Desember 1248, Syamsi memutuskan untuk meninggalkan Konya. Cerita lain tentang hal ini menyebutkan bahwa pada malam kepergiannya itu, ada yang memanggilnya dari pintu belakang. Saat itu dia sedang bercakap-cakap dengan Rumi. Dia keluar dan tak pernah terlihat lagi. Ada yang percaya bahwa dia dibunuh atas sepengetahuan Syalbi Alauddin, putra Rumi yang lainnya.

Yang mana pun kejadiannya, Rumi sangat terpukul atas kepergian Syamsi. Dia berusaha mencari, bertahun-tahun. Dia pergi hingga ke Damaskus (Suriah), berkali-kali, tanpa hasil. Selama pencariannya, dia menumpahkan kerinduan dan kesedihannya ke dalam musik, tarian, dan syair (yang kemudian dihimpun menjadi Diwan Syamsi Tabriz, satu dari dua karya besarnya). Dalam sepucuk surat dia menulis:

Wahai kesenangan dan kebahagiaan manakala datang
Dan wahai kesusahan dan kesedihan apabila hilang
Engkau bagai mentari nan dekat namun jauh
Wahai orang yang dekat namun jauh, kemarilah.

Suatu kali akhirnya dia pasrah, dan mengakui: “Aku tidak akan lagi mencari. Aku akan mencari diriku sendiri. Sebab segala yang ada dalam diri Syamsi juga ada dalam diriku.”

Kehadiran sahabat yang sesuai dan mau memahami dirinya memang penting dalam kehidupan Rumi. Dengan sahabat seperti itu, Rumi bukan saja bisa merasa tenteram, tapi juga sanggup mengerahkan potensinya. Dengan mereka, dia produktif. Syamsi hanya satu contoh saja. Sahabatnya yang juga membuat dia menghasilkan karya besar adalah Syal Hasamuddin. Dia inilah yang mengilhami sajak-sajak yang kemudian dikumpulkan dalam Matsnawi.

Tentang orang-orang istimewa dalam hidupnya itu, Rumi berkata: “Cinta yang tumbuh di atas dasar kebersamaan tidak akan menimbulkan rasa sesal di dunia dan akhirat. Karena itu, orang bercinta yang hatinya tidak tersentuh rasa kebersamaan akan mudah berkat, ‘Kalau saja saya tidak menjadikan si Fulan sebagai kekasih.’ Sedangkan yang mendasarkan cintanya pada rasa kebersamaan tidak akan terjadi perpisahan, permusuhan, penyesalan, dan celaan di antara mereka.”

Setelah sakit keras, Rumi meninggal pada 17 Desember 1273 (5 Jumadilakhir 672 Hijriah). Menurut riwayat, saat jenazahnya hendak diberangkatkan ke tempat pemakaman, penduduk setempat berdesak-desakan ingin menyaksikan. Para pemeluk agama lain pun ikut menangisi kepergiannya. Orang Yahudi dan Nasrani, misalnya, ikut membacakan Taurat dan Injil. Kepada mereka, para penguasa negeri yang hadir dalam upacara pemakaman bertanya, “Peduli apa kalian dengan suasana berkabung saat ini? Bukankah yang meninggal ini seorang muslim yang alim.” Mereka menjawab, “Berkat dialah kami mengetahui kebenaran para nabi terdahulu. Dan pada dirinya kami memahami perilaku para wali yang sempurna.”

***

Rumi memang menjangkau siapa saja tanpa peduli latar belakangnya. Sepasang kekasih bisa membaca puisi karyanya bersama-sama dan melihat betapa suasana hati mereka terpancar dari kata-kata yang ada. Para pencari makna spiritual pun bisa menemukan di dalamnya deskripsi kerinduan mereka terhadap Tuhan.

Menurut James Fadiman, yang ikut menulis buku The Essential Sufism, Rumi bukan semata menulis puisi esoteris. “Dia menulis tentang kondisi manusia,” katanya. “Dia mengatakan kalian bisa memanfaatkan dunia untuk mendeskripsikan dunia yang lebih tinggi. Kalian hanya setitik air di samudera, tapi di dalam setitik itulah semesta berada. Kebenaran sejati sepenuhnya ada di dalam dirimu dan apa saja selain itu.”

Coleman Barks, penerjemah Rumi yang terpenting dalam bahasa Inggris, menunjukkan hal lain: pendekatan Rumi terhadap agama yang bersifat universal. Meski seorang muslim, katanya, Rumi berpendapat bahwa tidak ada batas di antara agama-agama. “Dan dia mengatakannya dengan otoritas dan kelembutan di Anatolia pada abad ke-13 saat (Perang) Salib sedang berlangsung. Dan dia terlihat menyatukan manusia,” katanya.

Inilah cuplikan salah satu puisi Rumi tentang hal itu:

Bukan Kristen atau Yahudi atau Muslim, bukan Hindu, Budha, sufi, atau zen. Bukan agama atau sistem budaya apa pun. Aku bukan dari Timur atau Barat, bukan keluar dari samudera atau timbul dari darat, bukan alami atau akhirat, bukan dari unsur-unsur sama sekali. Aku bukan wujud, bukan entitas di dunia ini atau akhirat, bukan dari Adam atau Hawa atau cerita asal-usul mana pun. Tempatku adalah Tanpa-Tempat, jejak dari yang Tanpa-Jejak. Bukan raga maupun jiwa.

Di Amerika, selain menjadi bagian dari gerakan memotivasi diri sendiri yang mendominasi budaya sepanjang dasawarsa terakhir, Rumi ikut membantu mewujudkan jembatan untuk saling memahami di antara warga keturunan Arab dan tetangga mereka yang kebetulan membaca Rumi. “Melalui Rumi, warga muslim merasa telah diterima kembali di Amerika,” kata Shahram Shiva, yang bertahun-tahun menerjemahkan dan membacakan karya-karya Rumi.

Sejak serangan 11 September 2001, sejumlah komentator juga telah menyatakan bahwa Rumi berperan sebagai jembatan yang penting antara warga Amerika dan Islam. Banyak yang setuju dengan Hans Meinke, penyair Jerman, yang mengatakan bahwa puisi Rumi adalah “harapan satu-satunya bagi zaman gelap yang kini kita hidup di dalamnya”.

Memang ada kekhawatiran bahwa Rumi-mania itu bakal cenderung berlebihan. Fadiman, yang percaya Rumi adalah salah satu penyair terbaik di dunia, mengaku kerap bergurau dengan mengatakan bahwa dia menunggu untuk bisa menyaksikan buku masak dan video kebugaran bertemakan Rumi. Tapi Lonny Fields, seorang penyelenggara festival Rumi di California State University at San Bernardino, yakin, sekalipun benar ada “komersialisasi Rumi”, pada akhirnya Rumi bermakna lebih daripada semua itu.

Barks setuju. “Rumi adalah soal membuka hati, yang saya kira di situlah orang tertarik sebagai cara untuk keluar dari klub-klub Tuhan dan menuju ke perasaan universal yang lebih suci,” katanya.

Pada batu nisan di atas makam Rumi, orang menatahkan kata-kata yang pernah dikemukakannya: “Saat kita mati, janganlah mencari makam kita di bumi, tapi temukanlah di hati manusia.”

# dari berbagai sumber | pur

Bookmark and Share
Tags:

    You may also like :

bepemedia

Creative Communication Solutions
Internet Solutions

1 comments

  1. waw memukai,meskipun sajak-sajak pendek namun cakupan maknanya sangat luas. terima kasih atas apa yang di berikan melalui tulisan ini. sangat memberikan pelajaran yang sangat berarti, berkarya adalah jiwa yang takkan pernah mati meski tulang belukang telah rapuh di makan tanah sendiri

Leave a Reply