Perbedaan Pendapat tentang Bentuk Gajah - Jalaluddin Rumi

Disebutkannya nama Musa telah menjadi sebuah rantai yang
mengganggu pikiran para pembacaku, mereka pikir ini adalah
cerita-cerita yang terjadi dahulu kala.

Disebutkannya Musa hanya berfungsi sebagai sebuah topeng,
tetapi cahaya Musa adalah persoalan mutakhir, wahai sahabatku.

Musa dan Fir’aun itu di dalam dirimu:
engkau mesti mencari pihak-pihak yang berlawanan ini
di dalam dirimu-sendiri.

Pembangkitan Musa akan terus berlangsung sampai Hari Kebangkitan:
Cahaya itu tidak berbeda, walaupun lampunya berlain-lainan.

Lampu dari tanah ini berbeda dengan sumbu itu,
tetapi cahaya mereka tidak berbeda: ia dari Alam Sana.

Jika engkau terus memandang kaca lampu, engkau akan bingung,
karena dari kaca muncullah sejumlah keragaman.

Tetapi jika pandanganmu tetap kepada Cahaya,
engkau akan terbebas dari keragaman
dan bermacam-macamnya bentuk yang terbatas.

Dari tempat yang menjadi obyek pandangan,
wahai engkau yang merupakan hakikat keberadaan,
dari sanalah munculnya perbedaan antara seorang yang
beriman sejati dengan seorang Zoroaster,
dan dengan seorang Yahudi.

Seekor gajah ditaruh dalam sebuah ruangan yang gelap:
beberapa orang Hindu membawanya untuk dipamerkan.

Banyak orang datang untuk melihatnya,
semuanya masuk ke dalam kegelapan.

Karena melihatnya dengan mata tidaklah mungkin,
setiap orang merabanya, di tengah kegelapan,
dengan telapak tangan masing-masing.

Orang yang tangannya meraba belalainya berkata:
“Makhluk ini seperti sebuah pipa air.”

Bagi orang yang tangannya menyentuh telinganya,
ia tampak seperti sebuah kipas.

Orang yang lainnya lagi, yang memegang kakiknya,
berkata: “Menurutku bentuk gajah itu seperti sebuah pilar.”

Yang lainnya, yang mengusap punggungnya, berkata:
“Sesungguhnya, gajah ini seperti sebuah singgasana.”

Demikianlah, ketika seseorang mendengar (penjelasan
mengenai sang gajah), dia memahaminya (hanya) sesuai
dengan bagian yang disentuhnya saja.

Berdasarkan (beragamnya) yang menjadi tempat (obyek) dari
pandangan, berbeda-bedalah pernyataan mereka: satu orang
mengatakannya bengkok seperti “dal,” yang lainnya mengatakan
lurus seperti “alif.”

Seandainya masing-masing orang memegang lilin di tangannya,
tiada perbedaan di dalam kata-kata mereka.

Pandangan persepsi-inderawi itu hanyalah bagaikan
telapak tangan; tidaklah telapak tangan itu mempunyai
kemampuan untuk meraih keseluruhan gajah.

Mata bagi Lautan adalah suatu hal, sedangkan buih itu
suatu hal yang lain lagi: tinggalkan buih dan lihatlah
dengan mata bagi Lautan.

Siang-malam, tiada hentinya gerakan arus-buih dari Lautan:
engkau menatap buih, tetapi tidak Lautnya.

Kita bertumbukan satu sama lain, bagaikan perahu:
mata-mata kita gelap, sungguhpun kita berada di air yang jernih.

Wahai engkau yang telah tertidur di dalam perahu raga,
engkau telah melihat air, tetapi lihatlah kepada AIR dari air itu.

Air itu memiliki AIR yang menggerakannya:
jiwa itu memiliki RUH yang memanggilnya.

Dimanakah Musa dan Isa ketika Sang Matahari
menyiramkan air kepada ladang benih ciptaan?

Dimanakah Adam dan Hawa ketika Tuhan memasangkan tali
kepada busur ini?

Lisan ini juga kelu; lisan yang tidak kelu itu dari Sebelah Sana.
Jika dia berbicara dari sumber itu, kakimu akan gemetar;
dan jika dia tidak membicarakan itu, sungguh malang nasibmu!

Dan jika dia berbicara dengan menggunakan ibarat,
wahai anak-muda, engkau akan terhijab oleh bentuk-bentuk itu.

Engkau tertanam ke bumi, bagaikan rumput:
engkau mengangguk-anggukkan kepalamu sesuai hembusan angin,
tanpa kepastian.

Tetapi engkau tak memiliki kaki yang dapat membuatmu
beranjak, atau cobalah menarik kakimu keluar
dari lumpur ini.

Bagaimana mungkin engkau menarik kakimu?
Hidupmu itu dari lumpur ini: luar-biasa beratnya bagi hidup
seperti milikmu untuk berjalan.

(Tetapi) ketika engkau menerima hidup dari Tuhan,
wahai huruf-berirama, engkau menjadi mandiri dari lumpur ini,
dan akan terangkat.

Ketika bayi yang semula menyusui disapih dari perawatnya,
dia menjadi pemakan remah dan beranjak darinya.

Bagaikan benih, engkau terikat kepada susu dari bumi:
upayakanlah untuk menyapih dirimu dengan mencari
makanan bagi qalb-mu.

Minumlah kata-kata Hikmah, karena ia adalah cahaya yang
terhijab, wahai engkau yang tidak mampu menerima
Cahaya tanpa hijab,

Sampai engkau menjadi mampu menerima Cahaya, wahai Jiwa,
sehingga engkau mampu menatap tanpa
hijab kepada sesuatu yang (kini) tersembunyi.

Dan jelajahlah langit bagaikan bintang; atau bahkan
berkelanalah tanpa-batas, bebas dari langit mana pun.

Engkaulah yang datang menjadi dari ketiadaan.
Katakanlah, bagaimana caranya engkau menjadi?
Engkau tiba tanpa menyadarinya.

Bagaimana caranya engkau datang,
tidaklah engkau mengingatnya,
tetapi akan kami lantunkan sebuah isyarat.

Lepaskanlah nalarmu, dan perhatikan!
Tutuplah telingamu, lalu dengarlah!

Tidak, tidak akan aku menceritakannya kepadamu,
karena engkau masih mentah: engkau masih di musim-semimu,
belum lagi engkau sampai ke bulan Tamuz.

Alam dunia ini bagaikan sebatang pohon, wahai makhluk mulia:
kita bagaikan buah setengah-matang pada pohon itu.

Buah setengah-matang melekat erat ke dahan,
karena selama dalam ketidak-matangan mereka,
tidaklah mereka sesuai bagi istana.

Ketika mereka telah matang dan menjadi manis
—sambil menggigit bibirnya—mereka
sekedar menempel saja ke dahan.

Ketika mulut telah dibuat manis oleh kesentosaan itu,
kerajaan alam dunia ini menjadi hambar bagi Lelaki itu.

Berpegangan erat dan melekatnya jiwa seseorang begitu kuatnya
adalah tanda ketidak-matangan: sepanjang engkau itu merupakan
embrio, pekerjaanmu adalah meminum-darah.

Banyak hal yang lainnya lagi, tetapi Ruh al-Quds akan
mengatakan tentang kisah itu, tanpa aku.

Tidak, bahkan engkau akan mengisahkannya ke telingamu sendiri,
tanpa aku ataupun yang selain dari Aku,
wahai engkau yang seperti Aku.

Seperti ketika engkau tertidur,
engkau beranjak dari hadiratmu kepada hadirat dirimu-sendiri:

Engkau mendengar dari dirimu-sendiri,
dan menganggap bahwa seseorang telah menceritakan kepadamu
di dalam mimpi.

Wahai sahabat, engkau bukanlah “engkau” yang tunggal;
tidak, engkau adalah langit dan laut yang dalam.

“Engkau”-mu yang perkasa—sembilan-ratus kali lipat—adalah
lautan dan tempat tenggelamnya seratus “engkau.”

Sebenarnya, apakah yang dimaksud dengan istilah-istilah
jaga dan tidur? Diamlah, karena Tuhan lah yang lebih tahu apa yang benar.

Diamlah,
agar engkau dapat mendengar dari Yang Bersabda,
apa-apa yang tidak akan terdapat dalam pernyataan atau dalam penjelasan.

Diamlah,
agar engkau dapat mendengar dari Matahari,
apa-apa yang tidak tercantum dalam buku atau dalam pemberian.

Diamlah,
agar Jiwa yang berbicara bagimu:
di dalam Bahtera Nuh tinggalkanlah berenang!

__________
(Nicholson, Matsnavi of Rumi, III: 1251 – 1307)
Bookmark and Share
Tags:

    You may also like :

bepemedia

Creative Communication Solutions
Internet Solutions

0 comments

Leave a Reply