‘‘MANTIQ AL-TAYR’ Fariduddin Attar: Syekh San'an dan Hakekat Cinta

Oleh: Abdul Hadi W. M.

Syekh San`an adalah orang suci dan ulama terkemuka pada zamannya. Pada suatu hari dia bermimpi bepergian dari Mekkah menuju Yunani, dan di sana dia menyembah arca yang sangat indah. Begitu terjaga dia merasa sangat sedih dan memutuskan Syekh pergi ke Yunani untuk mengetahui arti mimpinya. Diikuti oleh empat ratus muridnya sampailah dia di negeri seribu biara itu. Setelah mendatangi berbagai pelosok negeri itu sampailah ia di sebuah biara yang megah. Di sana dia melihat seorang gadis yang cantik luar biasa, memandang ke luar dari sebuah jendela.

Gadis Yunani itu ternyata beragama Nasrani. Syekh San`an sangat terpesona oleh kecantikannya. Ia berseru kepada murid-muridnya, “O alangkah dahsyat cintaku kepadanya. Andaikata aku dapat membebaskan diri dari kungkungan agama, tentulah aku beruntung dan bahagia!” Murid-muridnya mengerti maksud perkataan gurunya. Sementara itu Syekh San`an benar-benar terbakar api asmara. Dia merasa muda kembali, dan darah di tubuhnya bergelora. Dia berhasrat mendapatkan gadis Yunani itu dan menjadikan istrinya seumur hidup.

Siang malam Syekh San`an mengunjungi tempat itu untuk dapat menatap wajah gadis itu. Keinginannya untuk bertemu dan berbincang dengannya sedemikian kuatnya. Nasehat murid-muridnya tidak diacuhkannya, begitu pula ratusan doa yang mereka panjatkan sia-sia. Syekh San`an malahan semakin tergila-gila kepada gadis itu. Berhari-hari lamanya dia selalu gagal menjumpai gadis itu. Pintu biara tertutup rapat baginya. Pada akhirnya dia putus asa dan keadaannya begitu menyedihkan. Dia termangu-mangu di dekat tempat di bawah jendela tempat gadis itu selalu menampakkan mukanya.

Ketika melihat Syekh San`an sudah putus asa, gadis itupun keluar, menyilakan masuk kepada Syekh San`an dan menjamunya dengan makanan yang serba lezat dan minuman anggur. Karena cintanya Syekh San`an menuruti apa saja yang diperintahkan si gadis. Namun si gadis belum juga mau menerima lamaran Syekh San`an. Pada suatu hari ketika Syekh San`an bersedia masuk agama Nasrani, barulah gadis itu menerima lamarannya. Kini mereka resmi menjadi sepasang suami istri. Sebagai mas kawinnya Syekh San`an harus bersedia memelihara babi, memandikan binatang-binatang itu dan memberinya makan pagi dan sore.

`Attar menulis pada episode ini, “Dalam fitrah kita masing-masing ada seratus babi. Wahai kalian yang tak berarti apa-apa, kalian hanya memikirkan bahaya yang sedang mengancam Syekh San`an! Sedangkan bahaya itu terdapat juga dalam diri kita masing-masing, dan menegakkan kepala sejak saat kita mulai melangkah di jalan pengenalan-diri. Kalau kalian tak mengetahui perihal babi-babi kalian sendiri, maka kalian tak akan mengenal Jalan Cinta. Tetapi apabila kalian mulai menempuh jalan itu, kalian akan menjumpai ratusan babi dan ratusan berhala pujaan. Halaulah babi-babi itu, bakarlah berhala-berhala itu di lembah Cinta; atau kalau tidak, kalian akan menjadi seperti Syekh San`an, hina dina dicemooh cinta.”

Kabar segera tersiar ke negeri-negeri Islam bahwa seorang ulama terkenal telah memeluk agama Kristen dan menjadi pemelihara babi, hanya disebabkan oleh cintanya kepada seorang gadis cantik yang masih muda. O betapa pesona dunia dapat membelokkan iman dan pengetahuan. Kebetulan di Mekkah tinggallah seorang Syekh, sahabat karib Syekh San`an. Mendengar berita itu dia hanya mengurut-urut dadanya. Murid-murid Syekh San`an yang sedang berada di Mekkah dipanggilnya semua dan diberi nasehat, “Apabila kalian benar-benar ingin berbuat sesuatu yang membuahkan hasil, kalian harus mengetuk pintu Tuhan berulang kali tanpa jemu. Dengan doa yang disertai keyakinan mendalam kalian akan diterima di hadirat Ilahi. Mestinya kalian memohon kepada Allah demi guru kalian, masing-masing dengan doa sendiri. Insya Allah Dia akan mengembalikan Syekh San`an kepada kalian. Mengapa kalian enggan mengetuk pintu Tuhan?”

Murid-murid itu pun segera berangkat ke Yunani. Sesampainya di sana mereka memilih tinggal tidak jauh dari tempat Syekh San`an. Empat puluh hari empat puluh malam mereka berdoa. Empah puluh hari lamanya mereka berpuasa, berpantang makan makanan lezat yang mengandung banyak lemak dan kolestrol. Mereka juga tak boleh tergoda oleh gadis-gadis cantik yang banyak terdapat di biara itu. Akhirnya kekuatan doa orang-orang tulus itu pun menggetarkan langit. Malam itu mereka bermimpi berjumpa dengan Nabi Muhammad s. a. w. Dalam mimpi mereka Nabi Muhammad s. a. w. bersabda bahwa Syekh San’an sebentar lagi akan kembali ke jalan benar dan dosa-dosanya akan diampuni. Segala yang telah dia tinggalkan selama ini, kitab suci al-Qur`an, kiblat dan sajadah segera akan didatanginya lagi”.

Pada malam yang sama wanita Yunani itu juga bermimpi dan dalam mimpinya melihat matahari turun kepadanya, disertai suara, “Ikuti Syekh San`an suamimu, peluklah agamanya, jadilah suci seperti hatinya yang telah dibersihkan oleh cinta. Kau telah membawa dia ke jalanmu, kini ikuti jalan yang ditempuhnya.”
Ketika wanita itu terjaga dari tidurnya, Syekh San`an telah meninggalkan Yunani bersama empat ratus pengikutnya menuju Mekkah. Tidak tahan sendiri, dan merasa rindu kepada Syekh San`an, dia pun menyusul mereka menuju Mekkah. Kepada Syekh San`an dia berkata, “Aku merasa begitu malu karena kau. Singkaplah tabir rahasia itu, dan ajarkan Islam kepadaku, agar aku dapat menempuh jalan kedamaian dan keselematan!” Di depan Ka`bah, disaksikan oleh ratusan murid dan sahabat Syekh San`an, wanita Nasrani itu mengucapkan kalimah syahadah. Kebahagiaan memancar dari wajahnya yang cerah setelah berhari-hari muram oleh kesedihan.

Ada kisah cinta lain yang menarik, yaitu cinta putri raja kepada salah seorang hamba sahayanya yang tampan dan berbudi. Dalam kisah ini `Attar ingin mengamukan bahwa seringkali cinta mendatangi tanpa diharapkan dan disadari. Pengalaman cinta itu sendiri menurut `Attar bersifat subyektif sehingga sulit diuraikan kepada orang lain. Bahasa terbaik untuk mengutarakannya ialah bahasa sastra yang bersifat fuguratif dan imaginatif. Ketika seseorang asyik bercinta dia hanyut ke dalam dunia khayalan, sehingga tidak bisa membedakan apa yang dialami itu kenyataan atau impian.

Bagaimana cinta bisa timbul dalam diri seseorang? Salah satu penyebabnya ialah apabila obyek atau orang lain yang dicintai menampakkan keindahan yang membuatnya patut dicinta. Begitulah misalnya cinta Tuhan kepada manusia yang dipilih-Nya untuk mendapat petunjuk dari-Nya seperti nabi-nabi, para aulia dan santu di masa dahulu. Keindahan yang sangat kuat dayanya dalam menerbitkan dorongan hati seseorang untuk mencintainya, ialah keindahan batin (jamal), bukan keindahan lahir (husn). Hamba sahaya di dalam kisah `Attar ini dicintai bukan karena kecantikan wajah atau badannya, melainkan terutama karena ketaatan dan pengabdiannya kepada majikannya. Pada akhirnya `Attar juga ingin menyatakan bahwa cinta sejati itu tidak ada kepentingan sesuatu apa selain dari mencintai itu sendiri. Kisah lain tentang rahasia cinta sejati juga dapat dijumpai dalam ”Kisah Yusuf dan Zuleikha”. Tetapi dalam buku `Attar hanya dijumpai fragmennya. Yang memaparkan dalam alegori mistik menarik ialah Nizami al-Ganjawi, penulis Persia abad ke-12 M, segenerasi dengan `Attar.

Hakikat cinta yang lain ialah kepatuhan seorang pencinta kepada kekasihnya, yang mengakibatkan kekasihnya mencintainya secara dalam dan akhirnya patuh kepadanya. Ini diperlihatkan oleh kepatuhan Syeikh San`an kepada Gadis Nasrani, yang menyebabkan Gadis Nasrani itu cinta kepada Syeikh San`an dan akhirnya patuh kepadanya dengan memeluk agama Islam. Hakikat cinta yang lain lagi ialah bahwa cinta sejati dapat menembus perbedaan agama dan warna kulit (bangsa), artinya melalui cinta seseorang dapat menapai hakikat kemanusiaan dan kerohanian paling dalam, yaitu mencintai itu sendiri. Kisah ini juga memberi pelajaran bahwa dalam jalan cinta banyak sekali godaan dan bahaya yang mesti dilalui seorang penempuh jalan kerohanian. Pada saat Syeikh San`an jatuh cinta kepada Gadis Nasrani dia menjadi sesat karena beliau tidak dapat membedakan antara cinta nafsani (sensual) dan cinta sejati. Tetapi Syeikh San`an terselamatkan disebabkan kuatnya doa murid-muridnya sehingga Tuhan turun tangan memberi petunjuk dan bimbingan. `Attar ingin menyatakan bahwa Petunjuk Tuhanlah yang paling penting dalam kehidupan manusia.

Mengenai lembah ketujuh atau terakhir `Attar menulis, yang artinya lebih kurang sebagai berikut:

Melalui kesukaran dan kehinaan jiwa burung-burung itu luluh
Dalam fana, sementara tubuh mereka menjadi debu
Setelah dimurnikan maka mereka menerima hidup baru
Dari Cahaya Hadirat Tuhan yang Baqa
Sekali lagi mereka menjadi hamba-hamba berjiwa segar
Perpuatan dan kebisuan mereka pada masa yang lampau
Telah lenyap dan hapus dari lubuk dada mereka
Matahari Kehampiran bersinar terang dari dalam diri mereka
Jiwa mereka diterangi oleh cahaya petunjuk-Nya
Dalam pantulan wajah tiga puluh burung (si-murgh) dunia
Mereka lantas menyaksikan wajah Simurgh
Apabila mereka memandang ke dalam diri mereka
Ya nampak, itulah Simurgh, bukan lain.
Tidak diragukan bahwa Simurgh ialah tiga puluh (si-murgh) burung
Semua bingung penuh ketakjuban, tidak tahu apa mereka ini atau itu
Mereka memandang diri mereka tiada lain ialah Simurgh

Mantiq al-Tayr diakhiri dengan amanat penulisnya agar pembaca menempuh jalan cinta dalam kehidupan. Cinta ialah penawar untuk segala kesedihan dan duka nestapa, dan ia merupakan obat dalam dua dunia. Sang sufi juga mengharapkan pembaca tidak membaca karyanya sebagai buku puisi atau nujum, namun sebagai hikmah yang hanya dapat diselami melalui pemahaman yang dalam. Karya sastra baginya adalah upaya pembebasan jiwa dari kungkungan keduniawian (tajarrud) dengan menggunakan sarana-sarana estetik dan bahan verbal yang dijumpai dalam hidup keseharian, serta disediakan oleh kitab suci, sejarah, dan kebudayaan.

Akhir Kalam

Ada beberapa perspektif atau aspek penting yang dapat dikemukakan untuk melihat relevansi karya sufistik atau profetik seperti Mantiq al-Tayr. Pertama, berkenaan dengan wawasan estetika yang melandasi penulisannya, yang sebenarnya mencerminkan kecenderungan umum karya sejenis – sufistik, mistikal, transendental, spiritual, profetik, bahkan apokaliptik, dan lain sebagainya. Kedua, aspek kesejarahan yaitu sejarah sosial budaya dan keagamaan yang melatari penulisan karya `Attar. Ketiga, sebagai karya yang berangkat dari perenungan ketuhanan dan masalah keagamaan, tentulah patut kita bertanya teologi apa yang ditawarkan oleh karya seperti ini.

Secara estetik Mantiq al-Tayr memerlihatkan bahwa kaum spiritualis atau mistikus (dalam hal ini sufi) memandang bahwa sastra sebagai penyajian (presentation) secara simbolik gagasan dan pengalaman kerohanian yang dicapai penulisnya sebagai penempuh jalan kerohanian (`ilm al-suluk). Simbol-simbol tersebut diambil dari kitab suci, teks keagamaan, sejarah agama, peristiwa-peristiwa sejarah, budaya, cerita rakyat yang mereka kenal, dan lain sebagainya. Burung Hudhud, yang berperan sebagai guru spiritual (pir) para burung, diambil dari al-Qur’an. Ia adalah burung kesayangan Nabi Sulaiman a.s. karena paling mengetahui jalan menuju dan rahasia istana ratu Balqis (Sheba) di Yaman. Simurgh (phoenix, burung `anqa dalam legenda Arab, burung Pingai dalam sastra Melayu, burung Hung di Cina) diambil dari mitos, merupakan lambang hakekat ketuhanan yang tempatnya sangat tinggi. Burung-burung yang lain adalah lambang jiwa manusia yang kecenderungannya beraneka ragam. Bukit Qaf diambil dari al-Qur’an, simbol kedekatan (uns) manusia dengan Tuhan, sebab puncak gunung merupakan tempat pertemuan langit dan bumi (samawat wa al-`ardh). Penerbangan adalah simbol kenaikan jiwa dari tingkat terendah kesadarannya menuju tingkat kesadaran tertinggi. Misalnya dalam kisah cinta Syekh San`an dengan gadis Yunani adalah upaya pengarang untuk melukiskan betapa cinta profan bisa ditingkatkan menjadi cinta transcendental.
Dengan begitu peristiwa yang disajikan karya itu bukan peristiwa di ruang kehidupan keseharian atau sosial, tetapi di ruang kejiwaan dan rohani manusia. Hal serupa kita lihat dalam Bhagavat Gita, Divina Comedia Dante, Faust Goethe, dan lain sebagainya. Tentu apa yang dipaparkan di situ tetap ada kaitannya dengan realitas di luarnya. Persoalan-persoalan yang dikemukakan melalui kisah-kisah dalam Mantiq al-Tayr, adalah persoalan keseharian namun berhasil ditransformasikan menjadi persoalan spiritual dan keagamaan.

Seperti halnya karya sastra pada umumnya, kelahiran Mantiq al-Tayr tidak kosong dari pengalaman dan peristiwa sejarah. Tetapi sejarah yag dimaksud bukan sejarah yang empirik, bukan sekadar sejarah sosial dan politik. Tetapi juga sejarah pemikiran keagamaan dan filsafat. Ketika karya ‘Attar itu ditulis masyarakat Muslim sedang mengalami krisis internal dan sedang diambang perpecahan. Terhadap banyak aliran keagamaan di situ yang saling bertarung memperebutkan posisi dalam kehidupan sosial budaya dan politik. Perang Salib kian membuat keruh keadaan, begitu pula invasi Mongol (Jengis Khan) pada awal abad ke-13 M. Semua itu menggiring umat Islam ke arah disintegrasi sehingga terjadi diaspora besar-besaran. Terutama setelah penghancuran Baghdad oleh Hulagu Khan, cucu Jengis Khan, pada tahun 1256 M. Pemikiran keagamaan juga mengalami kejumudan karena cenderung ajaran agama ditafsirkan secara legalistik formal. Filsafat, science dan spiritualitas mengalami kemunduran, padahal sebelumnya mengalami masa kejayaannya.

Di tengah suasana kehidupan yang dipenuhi dengan krisis dan keputusasaan, serta ancaman internal dan eksternal itulah karya-karya profgetik sufi seperti Imam al-Ghazali, `Attar, Rumi, Ibn `Arabi, dan lain-lain dilahirkan. Melalui karya-karyanya itu mereka membangkitkan apa yang sekarang dapat disebut sebagai Teologi Harapan. Jika masyarakat susah lagi mempercayai institusi sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, hukum, dan agama; kepada siapa lagi dia harus berharap kecuali pada Tuhan dan dirinya sendiri. Cinta ilahi atau cinta transendental yang diajarkan sufi lahir sebagai upaya membangunkan kembali harapan yang telah redup dalam jiwa manusia. Manusia harus diyakinkan bahwa keadilan Tuhan dan pertolongan-Nya masih mungkin jika manusia berusaha keras dan mampu membangun cita-cita bagi masa depannya yang lebih baik.
Pesimisme dan sinisme tidak akan mampu memberi keselamatan. Hanya dengan meneguhkan keimanan, berikhtiar dan berpikir keras manusia dapat mengatasi penderitaan dan menyelamatkan kehidupannya. Hanya dengan meyakini bahwa Tuhan tidak akan meninggalkan manusia sendirian mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapinya maka kehidupan ini dapat diselamatkan. Cinta, keadilan, kecerdasan, perdamaian, solidaritas sosial, dan lain-lain yang didambakan sepanjang abad bukan sekadar masalah sosial, tetapi juga masalah spiritual. Ingatlah piagam PBB tentang perdamaian sendiri menyebutkan bahwa perdamaian dimulai bukan di tempat lain, melainkan di dalam hati dan jiwa manusia sendiri. Inilah pesan moral dari karya spiritual seperti Bhagavad Gita. Inilah pulalah pesan dari pepatah Kristen “Kerajaan Tuhan ada di dalam diri manusia”.


Daftar Pustaka
-------------
Ali Ahmad (1992). “Karya Naratif Sufi: Mantiq al-Tayr: Satu Pengenalan
Ringkas”. Dalam Sastera Sufi. Penyelenggara Baharuddin Ahmad. Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka,.

Fariduddin `Attar (1983). Musyawarah Burung. Terj. Hartojo Andangdjaja.
Jakarta: Pustaka Jaya.

Edward G. Browne (1976). A Literary History of Persia. Vol. II. Cambridge:
Cambridge University Press.

Abdul Hadi W. M. (1985) Sastra Sufi, Sebuah Antologi. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Hal. 274-286, “Ringkasan Parlemen Burung”.

Abdul Hadi W. M. (2004). Hermeneutika, Estetika dan Religiusutas. Yogyakarta:
Mahatari.

Seyyed Hossein Nasr (1987). Islamic Art and Spirituality. Ipswich: Golgonoza
Press.
Bookmark and Share
Tags:

    You may also like :

bepemedia

Creative Communication Solutions
Internet Solutions

0 comments

Leave a Reply