
Ketika mencapai tiga atau empat bulan, mereka meninggal. Sehingga sang ibu menjerit, “Wahai Tuhan, Sembilan bulan lamanya, kutanggung beban kehamilan, tapi kemudian hanya tiga bulan lamanya hidupku senang: kebahagiaanku lebih singkat daripada terbentangnya pelangi.”
Perempuan itu, karena kesedihan yang amat sangat, mengeluhkan nasib malangnya kepada para lelaki milik Tuhan.
Karena telah dua puluh orang anaknya dikubur: bagaikan jilatan api cepatnya kehancuran hidup mereka.
Sampai suatu malam diperlihatkan kepadanya sebuah taman yang tak-terhingga, luas, hijau, indah, tanpa-cela sedikit pun.
Kusebut “Ganjaran Mutlak” sebuah taman, karena dia merupakan sumber semua ganjaran dan gabungan semua taman;
Jika tidak demikian, sebenarnya tiada mata pernah memandang tempat yang disebut taman itu. Sungguh pun begitu istilah taman dapat dipakaikan untuknya: Tuhan pun telah menyebut “Cahaya Kegaiban” sebuah lampu.
Tentu saja ini bukan suatu perbandingan yang tepat, hanya suatu perumpamaan, agar mereka yang terheran-heran dapat mencium suatu wewangian hakekat.
Demikianlah, sang ibu melihat ganjaran itu dan seketika lebur: pada singkapan itu, makhluk lemah itu lenyap dalam fana’.
Dilihatnya namanya sendiri tertulis pada sebuah istana: seraya dia merasa yakin bahwa istana itu adalah miliknya.
Setelah itu, ada suara terdengar olehnya, “Ganjaran ini adalah bagi lelaki yang tegak dengan istiqamah dan ikhlash dalam mengabdikan-diri.
Tentulah diperlukan banyak sekali pelayanan kepada Tuhan agar engkau boleh ambil bagian dalam perjamuan ini;
Karena engkau banyak absen dari menyendiri-bersama-Tuhan, maka, sebagai gantinya, Tuhan memberimu bala-bencana itu.”
“Wahai Tuhan,” perempuan itu menjerit, “berikan kepadaku bala-bencana seperti itu seratus tahun lagi, bahkan lebih dari itu! Jika Engkau kehendaki, tumpahkanlah darahku!”
Ketika dia memasuki taman itu, dijumpainya di situ semua anak-anaknya.
Perempuan itu berkata, “Mereka lenyap dari sisiku, tetapi tidak pernah mereka lenyap dari sisiMu.”
Tanpa memiliki sepasang mata yang memandang kepada yang-Tak-nampak, tidak bisa seseorang menjadi Lelaki pemilik visi.
Tidaklah darah keluar dari hidungmu, dan engkau alirkan darah yang kotor, kecuali agar dirimu terhindar dari demam.
Inti buah lebih enak daripada kulitnya: pandanglah tubuhmu sebagai kulit, dan jiwamu sebagai intinya.
Sesungguhnya, seorang Lelaki itu memiliki suatu inti yang baik: carilah hal itu, jika engkau termasuk Hembusan yang Maha-Rahman.
__________
( Nicholson, Matsnavi of Rumi, III: 3399 - 3418)
0 comments