Malam meliputi Lebanon Utara, dan salju pun menyelimuti pedesaan di tengah Lembah Kadisya, menampakkan panorama bagai lembaran perkamen putih, dan di atasnya, sang Alam yang Murka sedang merekam tindak-langkahnya. Orang-orang bergegas pulang, sementara kesunyian merayapi malam.
Di sebuah rumah terpencil pinggiran pedesaan, tinggal seorang wanita, yang sedang duduk dekat tungku perapian, memintal benang bulu domba; di sampingnya anak tunggalnya, yang menunggunya sambil memandang api dan ibundanya berganti-ganti.
Gelegar halilintar yang dasyat mengguncang huma, dan si kecil menggigil ketakutan. Dia merengkuhkan lengan pada ibunya, mencari perlindungan pada kasih-sayangnya, dari amukan Alam.
Si ibu mendekapkannya ke dada dan mengecup dahinya; lalu mendudukkannya dipangkuan, sambil berkata, “Jangan takut anakku sayang, Alam hanya mengukur kekuatannya dengan kelemahan manusia. Tetapi ada Yang Maha Kuasa di atas hujan salju dan gumpalan awan di balik sapuan badai dan petir taufan, Dia Maha Tahu akan kebutuhan bumi ini, sebab Dia jua yang membuatnya, dan si lemah pun dipandang-Nya lembut dengan mata iba.
“Kau harus berani, Nak. Alam tersenyum di musim Semi, dan tertawa di Musim Panas, dan tidak menguap di Musim Gugur, tetapi kini dia menangis; dan dengn air matanya dia menyiram kehidupan, yang tersembunyi di bawah bumi.
“Tidurlah, sayang; ayahmu mengamati kita dari tirai Keabadian. Salju dan guntur di saat demikian, lebih mendekatkan kita kepadanya.
“Tidurlah, kasih; sebab selimut salju putih yang dinginnya menggigit tulang ini menghangatkan benih yang bakal melahirkan bunga indah, ketika Nisan datang.
“Demikianlah, nak, orang tak mungkin panen kasih, sebelum perpisahan yang membuka pengertian sedih, kesadaran yang menghimpit dan pengorbanan pedih. Tidurlah, sayang; mimpi indah akan mengunjungi jiwamu, yang tak gentar menghadapi malam geram dan cuaca kebekuan yang mengiris sendi tulang.”
Si kecil menatap wajah bunda dengan kantuk menggantung di mata, sambil berkata, “Ibu, mataku begitu berat terasa tetapi aku tak dapat tidur sebelum berdoa.”
Wanita itu memandangi wajah anaknya yang bagai malaikat, dan dengan mata yang dikaburkan oleh kabut keharuan rasa, katanya. “Tirukan kata ibu, anakku. “Tuhan, kasihanilah orang-orang miskin, dan lindungi mereka dari musim dingin; hangatkan tubuh mereka yang tipis busananya dengan usapan tangan iba kasih-Mu; lihatlah anak-anak yatim-piatu; yang tergolek tidur di pondoknya yang kumuh dalam keadaan lapar dan kedinginan tubuh. Dengarlah, oh Tuhan, ratapan para janda yang membutuhkan pertolongan, gemetar dalam kebimbangan apakah anaknya berhari depan. Bukalah, oh Tuhan, hati semua insan agar peka melihat si lemah dalam penderitaan. Anugerahkan belas kasih-Mu pada para fakir, yang mengetuki pintu-pintu tertutup, tuntunlah musafir menjauhi marabahaya ke tempat hangat. Lindungilah, pepohonan dan sawah-ladang dari amukan badai taufan; sebab Engkaulah Maha Kasih dan Penyayang.”
Setelah Kantuk menghanyutkan rohnya ke alam mimpi, sang ibu meletakkannya di atas pembaringan, dikecupnya kedua pelupuk mata anaknya dengan bibir gemetar. Lalu kembali ia kependiangan, memintal benang, membuat baju si anak.
(dari: Lagu Gelombang)
- Terkini
- Komentar
Twitter
Video
Penyair
Abdul Hadi Widji Muthari
(24)
Abdurrahman Jami
(1)
Abu Nawas
(1)
Abu Tanam
(1)
Aidh al-Qarni
(2)
Aisyah ra.
(2)
Al Futuhat
(1)
Al Ghazali
(1)
Al Muktashim
(2)
Ali Bin Abi Thalib.
(1)
An-Niffari
(3)
As-Sadi Asy-Syairazi
(1)
As-Sanai
(6)
Asy Syafii
(13)
BJ Habibie
(2)
Bung Karno
(4)
Chairil Anwar
(72)
Dorothy Law Nolte
(2)
Elia Abu Madhi
(1)
Fariduddin Attar
(4)
Gabriela Mistral
(1)
Hafiz
(5)
HAMKA
(6)
Hamzah Al-Fansuri
(5)
Hasan al Basri
(1)
Ibn ‘Arabi
(2)
Ibnu Sina
(1)
Imam Bukhari
(1)
Jalaluddin Rumi
(108)
KH. Abdurrahman Wahid
(1)
Khalil Gibran
(62)
Muhammad Iqbal
(7)
Mustofa Bisri
(6)
Rabiah
(21)
Sunan Bonang
(2)
Sunan Kalijaga
(1)
Taufiq Ismail
(38)
Ubaidillah bin Abdullah bin Utbah bin Mas’ud
(1)
Umar Khayyam
(17)
Unknown
(2)
WS Rendra
(23)
Yunus Emre
(16)
0 comments