Sastra Sufi Semakin Merosot - Wawancara dengan Abdul Hadi WM

Abdul Hadi WM Sastrawan & Dosen Paramadina

Ada hal menarik kalau kita menengok sejarah sastra sufi. Pengaruhnya terasa hingga sekarang. Bahkan beberapa penyair Indonesia mutahir kecenderungan sufistik banyak juga dirasa pada beberapa penyair ternama semisal WS Rendra, Danarto, Gus Mus, Fudoli Zaini dan beberapa lagi. Bernama lengkap Abdul Hadi Widji Muthari lahir Sumenep, Madura, Jawa Timur, 24 Juni 1948. Puisi menjadi kesenangannya semenjak kecil. Pada masa itu ia sudah berkenalan dengan bacaan-bacaan seperti Plato, Socrates, Imam Ghazali, Rabindranath Tagore dan Muhamad Iqbal.

Tercatat pernah menempuh pendidikan di Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada hingga tingkat sarjana muda (1965-1967). Kemudian melanjutkan ke studi Filsafat Barat di universitas yang sama hingga tingkat doktoral (1968-1971), namun tidak diselesaikannya. Menjadi mahasiswa Fakultas Sastra, Universitas Padjadjaran pernah ditekuninya dengan mengambil program studi antropologi (1971-1973). Akhirnya ia mendapatkan kesempatan studi dan mengambil gelar Doktor dari Universiti Sains Malaysia di Pulau Penang (1996).

Sekitar tahun 1970-an, para pengamat menilainya sebagai pencipta puisi sufis. Karyanya memuat kesepian, kematian, dan waktu. Seiring dengan waktu, karya-karyanya cenderung bernuansa mistis Islam dan kadang malah menyatu dengan mistis Jawa. Orang sering membandingkannya dengan Taufiq Ismail, yang juga berpuisi religius. “Dengan tulisan, saya mengajak orang lain untuk mengalami pengalaman religius yang saya rasakan. Sedang Taufiq hanya menekankan sifat moralistisnya,” cetusnya.

Banyak sajaknya yang mendapat pujian dari para kritikus sastra. Sajak yang berjudul Madura mendapat pujian dari Redaktur Majalah Horison (1968), Kumpulan Sajaknya Meditasi (1976) mendapat Hadiah Buku Puisi Terbaik DKJ 1976/1977, ditahun yang sama ia memperoleh Hadiah Seni dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI dan tahun 1985 ia memperoleh Hadiah Sastra Asean.

Bagaimana sebenaranya sastra sufi itu, berikut wawancara dengan penyair sekaligus pengamat sastra, Abdul Hadi WM.

Apa yang disebut sastra sufi ?

Anda tidak bisa memahami sastra sufi kalau anda tidak kenal tasawuf. Sastra sufi membawakan pesan-pesan ajaran para sufi. Ajaran sufi kalau mau diuraikan panjang. Kita tinggal membawa tasawuf itu saja. Sama dengan kalau anda bertanya apa sastra keagamaan ? Kalau sastra keagamaan ya sastra yang membawa pesan keagamaan.

Kalau kita melihat pada awalnya, sastra kaum sufi itu hanya sebagai sebuah ekspresi?

Saya kira tidak hanya kaum sufi. Semua itu pada awalnya merupakan ekspresi. Saya juga hanya berekspresi dulu kok. Jadi jangan membuat dokotomo bahwa sastrawan sufi itu hanya merupakan bagian dari ekspresi. Dalam melihat kesusatraan itu yang penting itu hasilnya bermutu sebagai karya sastra. Ini tolok ukurnya. Yang kedua adalah masuk kategori mana sastra yang semisal dari para sufi tadi. Dalam ilmu sastra ada tiga komponen yaitu kritik sastra, teori sastra , ketiga sajarah sastra.

Apa yang membedakan puisi tersebut dengan puisi-puisi lain?

Puisi sufi dicipta untuk menggambarkan hubungan intensif antara manusia dengan Tuhan. Di dalamnya terjadi dialog antara manusia dan Tuhannya. Jadi dialog itu merupakan gambaran tentang bagaimana jiwa seorang manusia melakukan perjalanan kerohanian dari alam jasmani, alam rendah, ke alam rohani yang alam lebih tinggi.

Orang membayangkan sufi dalam beragam bentuk seperti wirid. Apakah menulis puisi sufi juga demikian?

Menulis puisi sufi, prosesnya dimulai dengan melakukan itu termasuk penciptaan puisi, itukan gejala dari alam jasmani. Dalam pandangan semacam itu, alam jasmani ini mempunyai hubungan, kelanjutan dari alam rohani. Jadi dia tidak ada rintang untuk pergi dari alam jasmani ke alam rohani, Metode ini bukan metode rasional. Itu metode intuitif. Metode intuitif itu antara lain ibadah, dzikir. Kalau kita menggunakan akal, pikiran, itu untuk memecahkan persoalan-persoalan dunia yang berhubungan dengan manusia dan dunianya. Tapi kalau kita berhadapan dengan Tuhan, kita tidak lagi bisa menggunakan pikiran. Maka metode seperti dzikir itu yang digunakan. Metode perjalanan rohani seperti itu yang disebut jalan cinta. Jalan dimana kita menggunakan seluruh kehendak kita, hasrat kita kepada Yang Satu. Mengerahkan hasrat kita kepada yang satu semata, tanpa memikirkan yang lain.

Anda pernah menerjemahkan juga karya sufi Jalaluddin Rumi. Apa anda harus mempelajari ritual yang dialami Rumi sehingga anda dapat menerjemahkan karya itu tanpa kehilangan nafasnya?

Bukan hanya ritual, tapi juga mempelajari keseluruhan dari tradisi sastra Persia, tradisi sufi, ajaran tasawufnya sendiri. Mempelajari ajaran Rumi dan bagaimana riwayat hidup Rumi. Juga, hal-hal lain seperti kebudayaan islam Persia pada waktu itu. Saya juga harus mempelajari konsep-konsep ajaran tasawuf karena tasawuf disatu pihak merupakan satu jalan kerohanian. Dilain pihak, tasawuf juga adalah filsafat. Fungsi intuisi harus dibantu penalaran secara rasional. Karena itu dibilang; Cinta tidak ada gunanya tanpa pengetahuan. Pengetahuan juga tidak ada gunanya di dalam cinta. Itu tersirat di dalam pantun; Temumu dalam temuku/ Terbang melayang selaranya/Meski ilmu setinggi tegak/Tidak sembahyang apa gunanya?

Orang yang tidak sembayang pasti punya masalah dengan pantun ini. Cara yang sama anda lakukan juga ketika memahami karya Hamzah Fansuri? Seorang penulis puisi sufi dari Sumatra utara?

Kali ini lain karena berhadapan dengan penyair yang secara kultural budayanya. Jadi tidak banyak mendapatkan kesulitan, kecuali mempelajari bagaimana sorang penyair sufi menulis karyanya. Seorang penyair sufi itu menulis karyanya sebagai sebuah uraian secara artistik tentang perjalanan kerohanian tarekatnya dari makam yang terendah ke makam yang tertinggi. Itu dalam simbol-simbol saja. Dengan demikian kenikmatan estetik mudah dicapai. Karena itu pengalaman kesufian itu menjadi indah karena disampaikan secara artistik, bukan semata secara ilmu pengetahuan. Karena ilmu pengetahuan itu kering. Itulah yang membuat para sufi berhasil karena dia membawa transformasi islam di kepulauan Melayu menghadapi pengikut agama Hindu yang menggunakan kesenian. Para sufi juga menggunakan kesenian, dan itu kelebihan mereka dibanding ulama yang lain.

Perkembangan sastra sufi sekarang?

Sastra sufi itu punya keterikatan apakah di Lebanon, di Indonesia atau di negara –negara lainnya. Jadi kita tidak bisa melihat parsial. Tapi kalau di Indonesia tahun 1970 an itu dengan munculnya Danarto, Kuntowijoyo, Fudoli Zaini dan lain sebagainya saya lihat muncul kecenderungan sufi atau kesufian. Yang menjadi salah paham bahwa kecenderungan ini tidak membuat mereka terus disebut seorang sufi. Namun saya kurang mengamati akhir-akhir ini. Nampaknya semakin merosot. Bukan hanya sastra keagamaan namun sastra yang lain. Semuanya mengalami penurunan.

Kecenderungan sufi itu karena apa?

Karangan itu bertolak dari pengalaman. Kalau tidak ada pengalaman batin tidak mungkin lahir karya tersebut. Kalau tidak punya pengalaman sosial atau pengetahuan sosial maupun pengetahuan sejarah. Karya yang bersifat spiritual pasti ada pengalaman spiritual dan wawasan spiritual dari pengarangnya.

Kalau sastra sufi yang ada di Indonesia dipengaruhi dari mana?

Pengaruh sastra sufi yang berkembang di Indonesia dari Persia maupun Arab. Pengaruh itu semakin kental karena di Indonesia budaya mempunyai komponen sufi yang sangat kental. Kalau bicara tentang pengaruh itu yang bisa dilihat dari adat maupun perilaku masyarakat kita. Kalau kita ingin mempelajari masyarakat Aceh misalnya ada unsur syariatnya, tasawuf maupun syiah. Dalam syariat masyarakat kita banyak menganut madzhab Syafii. Dalam tasawuf ada juga tasawufnya Ibnu Arabi meskipun yang paling populer adalah al Ghazali. Dan yang ketiga adalah syiah. Kalau bisa memahami Islam tradisional, pengaruh sufi sangatlah kuat.

Kenapa bisa begitu ?

Kita harus menengok musababnya. Semenjak Bagdad mengalami kejatuhan komunitas sufi mulai berkembang pesat, terutama di pesisir. Madzahb fiqih juga mengalami perkembangan yang sangat luas. Madzaab Syafie berkembang di Asia Tenggara , karena memang dibawa oleh para pedagang yang kebetulan bermadzhab Syafiie. Begitu juga sufi. Sampai disini kenapa sufi. Pada waktu itu institusi ulama lainnya memang sudah hancur. Banyak fuqoha yang terbunuh karena mereka bekerja pada penguasa. Begitu kerajaan mereka runtuh mereka juga ikut terbunuh dan segala macam. Selanjutnya yang berperan adalah ulama-ulama di pedesaan. Dan ulama di pinggiran itu adalah para sufi dengan tarekat-tarekatnya. Itu yang memainkan peranan.

Dari tokoh-tokoh atau penyair sufi yang paling berkesan dalam diri anda siapa?

Yang paling berkesan adalah Jalaluddin Rumi, Hamzah Fansuri, Ibnu Arabi, dan Sunan Bonang. Sunan Bonang telah memperkenalkan pengertian-pengertian tentang ajaran kerohanian islam dan islam sendiri melalui terminologi budaya Jawa. Hamzah Fansuri itu (mengenalkan islam) melalui budaya Melayu.

Bagaimana anda melihat konflik yang pernah terjadi antara Nurudddin ar Raniri dan Syamsuddin as Sumatrani ?

Saya tidak melihat adanya konflik mereka berdua. Sebenarnya begini antara Nuruddin ar Raniri dan syamsyuddin As Sumatrani itu kedua-duanya adalah ahli tasawuf. Syamsuddin Sumatrani menekankan kepada ilmu kalam dan falsafah yang disukai bangsa melayu. Sedangkan Ar Raniri tidak paham sehingga timbul salah pengertian.

Apakah ada saling keterkaitan perkembangan sastra sufi di Melayu dan di Jawa?

Tidak hanya di jawa atau melayu tetapi seluruh dunia tasawuf itu sampai sekarang terdapat saling keterkaitan. Ada kesinambungan di dalamnya. Apa yang bergema di Aceh juga bergema Jawa.

------------------
Sumber: sufinews
Bookmark and Share
Tags:

    You may also like :

bepemedia

Creative Communication Solutions
Internet Solutions

0 comments

Leave a Reply