Sembilan Burung Camar Tuan Yusuf - Taufiq Ismail

Sekarang bayangkanlah saya memegang terali kubur pertama
Tuan Yusuf,
dan memandang bekas tumpak bumi
yang pernah menating jenazahnya.
Kemudian lihat saya keluar bangunan itu,
pergi ke empat kuburan dengan empat nisan berjajar,
tiada bernama tapi berukir Asmaul Husna.
Di situ empat orang terbujur
mungkin ulama, mungkin komandan pasukan
Tuan Yusuf,
mungkin orang Makasar, Bugis atau Banten.

Kemudian bayangkan sebuah meriam bercat hitam
menunjuk cakrawala langit Afrika.
Ikutilah kini saya surut tiga abad mengingat-ingat
jalan pertempuran ketika Tuan Yusuf jadi komandan.

Dengar angin bertiup di Faure waktu itu
mungkin dari dua samudera yang bersalam-salaman
di tanjung paling ujung
mungkin juga suhu dingin dari Kutub Selatan.

Lihat dedaunan musim rontok pada dedahanan
mengitari teluk bermerahan
yang berbisik-bisik menyanyi ketika warna ganti berganti.

Dapatkah kita membayangkan
Tuan Yusuf
seorang sufi yang cendekia
zikir membalut tubuhnya karangan mengalir
melalui kalam terbuat dari sembilu bambu
dengan dawat berwarna merah dan hitam jadi buku
dalam tiga bahasa

Lantas fantasikan tulang-belulang seorang pemberani
tersusun dalam peti
berlayar lebih 10.000 kilometer lewat dua samudera
suara angin dari barat menampar-nampar tujuh layar
di pesisir Celebes buang jangkar
lalu orang-orang bertangisan menurunkan Tuan Yusuf penuh hormat
ke dalam bumi Lakiung dekat tempat
ibunya Aminah bertumpah darah melahirkannya.

Wahai sukarnya bagiku mereka-reka garis wajahmu
ya Syekh
karena rupa tuan tidak direkam dalam fotografi abad ini
tidak juga dibuatkan lukisan pesanan pemerintah
dalam potret cat akrilik lima warna
namun kubayangkan sajalah kira-kira
wajah seorang sangat jantan, 65, bermata tajam,
bernafas ikhlas berjanggut tipis bersuara dalam bertubuh langsing
berbahasa fasih Makasar Bugis Arab Belanda dan Melayu.

Orang-orang Tanah Rendah itu takut pada Tuan.
Dan sebenarnya di lubuk hati Gubernur
dan manajer-manajer maskapai dagang VOC
yang gemar menyalakan meriam dan mesiu itu
mereka kagum pada Tuan.
Tapi mereka mesti membuang Tuan ke Batavia, Ceylon,
lalu 10.000 kilometer ke benua ini
karena mereka tak mau tergaduh dalam pengumpulan uang emas
disusun rapi dalam peti-peti terbuat dari kayu jati dengan bingkai besi
begitu kubaca catatan mereka.

Apa format dan fisiologi kecendekiaan dan kejantananmu ya Syekh?

Perhatikan kini kabut jadi gulung-gemulung mega,
lepas meluncur cepat dari Gunung Meja
yang memandang dua samudera.

Aku merasakan angin musim gugur bulan April berkata
kau merdeka hari ini karena tiga abad lalu
Syekh Yusuf
telah membabat hutan rotan dan menyibakkan ilalang berduri untukmu.

Aku mendengar zikir mengalir
lewat sembilan burung camar
yang sayapnya seperti berombak menyanyi.

__________________
Cape Town, 26 April 1993
Bookmark and Share
Tags:

    You may also like :

bepemedia

Creative Communication Solutions
Internet Solutions

0 comments

Leave a Reply