Tidak ada pilihan lain
Kita harus
Berjalan terus
Karena berhenti atau mundur
Berarti hancur
Apakah akan kita jual keyakinan kita
Dalam pengabdian tanpa harga
Akan maukah kita duduk satu meja
Dengan para pembunuh tahun yang lalu
Dalam setiap kalimat yang berakhiran
"Duli Tuanku ?"
Tidak ada lagi pilihan lain
Kita harus
Berjalan terus
Kita adalah manusia bermata sayu, yang di tepi jalan
Mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh
Kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara
Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama
Dan bertanya-tanya inikah yang namanya merdeka
Kita yang tidak punya kepentingan dengan seribu slogan
Dan seribu pengeras suara yang hampa suara
Tidak ada lagi pilihan lain
Kita harus
Berjalan terus.
____
1966
Kita harus
Berjalan terus
Karena berhenti atau mundur
Berarti hancur
Apakah akan kita jual keyakinan kita
Dalam pengabdian tanpa harga
Akan maukah kita duduk satu meja
Dengan para pembunuh tahun yang lalu
Dalam setiap kalimat yang berakhiran
"Duli Tuanku ?"
Tidak ada lagi pilihan lain
Kita harus
Berjalan terus
Kita adalah manusia bermata sayu, yang di tepi jalan
Mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh
Kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara
Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama
Dan bertanya-tanya inikah yang namanya merdeka
Kita yang tidak punya kepentingan dengan seribu slogan
Dan seribu pengeras suara yang hampa suara
Tidak ada lagi pilihan lain
Kita harus
Berjalan terus.
____
1966
Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga,
Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat,
sebagian berwarna putih dan sebagian hitam,
yang menyala bergantian,
Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam
dengan bola yang bentuknya seperti telur angsa,
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam
karena seratus juta penduduknya,
Kembalikan
Indonesia
padaku
Hari depan Indonesia adalah satu juta orang main pingpong siang malam
dengan bola telur angsa di bawah sinar lampu 15 wat,
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang pelan-pelan tenggelam
lantaran berat bebannya kemudian angsa-angsa berenang-renang di atasnya,
Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga,
dan di dalam mulut itu ada bola-bola lampu 15 wat,
sebagian putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian,
Hari depan Indonesia adalah angsa-angsa putih yang berenang-renang
sambil main pingpong di atas pulau Jawa yang tenggelam
dan membawa seratus juta bola lampu 15 wat ke dasar lautan,
Kembalikan
Indonesia
padaku
Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam
dengan bola yang bentuknya seperti telur angsa,
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam
karena seratus juta penduduknya,
Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat,
sebagian berwarna putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian,
Kembalikan
Indonesia
padaku
________
Paris, 1971
Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat,
sebagian berwarna putih dan sebagian hitam,
yang menyala bergantian,
Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam
dengan bola yang bentuknya seperti telur angsa,
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam
karena seratus juta penduduknya,
Kembalikan
Indonesia
padaku
Hari depan Indonesia adalah satu juta orang main pingpong siang malam
dengan bola telur angsa di bawah sinar lampu 15 wat,
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang pelan-pelan tenggelam
lantaran berat bebannya kemudian angsa-angsa berenang-renang di atasnya,
Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga,
dan di dalam mulut itu ada bola-bola lampu 15 wat,
sebagian putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian,
Hari depan Indonesia adalah angsa-angsa putih yang berenang-renang
sambil main pingpong di atas pulau Jawa yang tenggelam
dan membawa seratus juta bola lampu 15 wat ke dasar lautan,
Kembalikan
Indonesia
padaku
Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam
dengan bola yang bentuknya seperti telur angsa,
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam
karena seratus juta penduduknya,
Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat,
sebagian berwarna putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian,
Kembalikan
Indonesia
padaku
________
Paris, 1971
I
Ketika di Pekalongan, SMA kelas tiga
Ke Wisconsin aku dapat beasiswa
Sembilan belas lima enam itulah tahunnya
Aku gembira jadi anak revolusi Indonesia
Negeriku baru enam tahun terhormat diakui dunia
Terasa hebat merebut merdeka dari Belanda
Sahabatku sekelas, Thomas Stone namanya,
Whitefish Bay kampung asalnya
Kagum dia pada revolusi Indonesia
Dia mengarang tentang pertempuran Surabaya
Jelas Bung Tomo sebagai tokoh utama
Dan kecil-kecilan aku nara-sumbernya
Dadaku busung jadi anak Indonesia
Tom Stone akhirnya masuk West Point Academy
Dan mendapat Ph.D. dari Rice University
Dia sudah pensiun perwira tinggi dari U.S. Army
Dulu dadaku tegap bila aku berdiri
Mengapa sering benar aku merunduk kini
II
Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, ebuh Tun Razak,
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret di kepala
Malu aku jadi orang Indonesia.
III
Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor satu,
Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi
berterang-terang curang susah dicari tandingan,
Di negeriku anak lelaki anak perempuan, kemenakan, sepupu
dan cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek
secara hancur-hancuran seujung kuku tak perlu malu,
Di negeriku komisi pembelian alat-alat berat, alat-alat ringan,
senjata, pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu dan
peuyeum dipotong birokrasi
lebih separuh masuk kantung jas safari,
Di kedutaan besar anak presiden, anak menteri, anak jenderal,
anak sekjen dan anak dirjen dilayani seperti presiden,
menteri, jenderal, sekjen dan dirjen sejati,
agar orangtua mereka bersenang hati,
Di negeriku penghitungan suara pemilihan umum
sangat-sangat-sangat-sangat-sangat jelas
penipuan besar-besaran tanpa seujung rambut pun bersalah perasaan,
Di negeriku khotbah, surat kabar, majalah, buku dan
sandiwara yang opininya bersilang tak habis
dan tak utus dilarang-larang,
Di negeriku dibakar pasar pedagang jelata
supaya berdiri pusat belanja modal raksasa,
Di negeriku Udin dan Marsinah jadi syahid dan syahidah,
ciumlah harum aroma mereka punya jenazah,
sekarang saja sementara mereka kalah,
kelak perencana dan pembunuh itu di dasar neraka
oleh satpam akhirat akan diinjak dan dilunyah lumat-lumat,
Di negeriku keputusan pengadilan secara agak rahasia
dan tidak rahasia dapat ditawar dalam bentuk jual-beli,
kabarnya dengan sepotong SK
suatu hari akan masuk Bursa Efek Jakarta secara resmi,
Di negeriku rasa aman tak ada karena dua puluh pungutan,
lima belas ini-itu tekanan dan sepuluh macam ancaman,
Di negeriku telepon banyak disadap, mata-mata kelebihan kerja,
fotokopi gosip dan fitnah bertebar disebar-sebar,
Di negeriku sepakbola sudah naik tingkat
jadi pertunjukan teror penonton antarkota
cuma karena sebagian sangat kecil bangsa kita
tak pernah bersedia menerima skor pertandingan
yang disetujui bersama,
Di negeriku rupanya sudah diputuskan
kita tak terlibat Piala Dunia demi keamanan antarbangsa,
lagi pula Piala Dunia itu cuma urusan negara-negara kecil
karena Cina, India, Rusia dan kita tak turut serta,
sehingga cukuplah Indonesia jadi penonton lewat satelit saja,
Di negeriku ada pembunuhan, penculikan
dan penyiksaan rakyat terang-terangan di Aceh,
Tanjung Priuk, Lampung, Haur Koneng,
Nipah, Santa Cruz dan Irian,
ada pula pembantahan terang-terangan
yang merupakan dusta terang-terangan
di bawah cahaya surya terang-terangan,
dan matahari tidak pernah dipanggil ke pengadilan sebagai
saksi terang-terangan,
Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada,
tapi dalam kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang
menyelam di tumpukan jerami selepas menuai padi.
IV
Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret di kepala
Malu aku jadi orang Indonesia.
(1998)
Ketika di Pekalongan, SMA kelas tiga
Ke Wisconsin aku dapat beasiswa
Sembilan belas lima enam itulah tahunnya
Aku gembira jadi anak revolusi Indonesia
Negeriku baru enam tahun terhormat diakui dunia
Terasa hebat merebut merdeka dari Belanda
Sahabatku sekelas, Thomas Stone namanya,
Whitefish Bay kampung asalnya
Kagum dia pada revolusi Indonesia
Dia mengarang tentang pertempuran Surabaya
Jelas Bung Tomo sebagai tokoh utama
Dan kecil-kecilan aku nara-sumbernya
Dadaku busung jadi anak Indonesia
Tom Stone akhirnya masuk West Point Academy
Dan mendapat Ph.D. dari Rice University
Dia sudah pensiun perwira tinggi dari U.S. Army
Dulu dadaku tegap bila aku berdiri
Mengapa sering benar aku merunduk kini
II
Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, ebuh Tun Razak,
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret di kepala
Malu aku jadi orang Indonesia.
III
Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor satu,
Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi
berterang-terang curang susah dicari tandingan,
Di negeriku anak lelaki anak perempuan, kemenakan, sepupu
dan cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek
secara hancur-hancuran seujung kuku tak perlu malu,
Di negeriku komisi pembelian alat-alat berat, alat-alat ringan,
senjata, pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu dan
peuyeum dipotong birokrasi
lebih separuh masuk kantung jas safari,
Di kedutaan besar anak presiden, anak menteri, anak jenderal,
anak sekjen dan anak dirjen dilayani seperti presiden,
menteri, jenderal, sekjen dan dirjen sejati,
agar orangtua mereka bersenang hati,
Di negeriku penghitungan suara pemilihan umum
sangat-sangat-sangat-sangat-sangat jelas
penipuan besar-besaran tanpa seujung rambut pun bersalah perasaan,
Di negeriku khotbah, surat kabar, majalah, buku dan
sandiwara yang opininya bersilang tak habis
dan tak utus dilarang-larang,
Di negeriku dibakar pasar pedagang jelata
supaya berdiri pusat belanja modal raksasa,
Di negeriku Udin dan Marsinah jadi syahid dan syahidah,
ciumlah harum aroma mereka punya jenazah,
sekarang saja sementara mereka kalah,
kelak perencana dan pembunuh itu di dasar neraka
oleh satpam akhirat akan diinjak dan dilunyah lumat-lumat,
Di negeriku keputusan pengadilan secara agak rahasia
dan tidak rahasia dapat ditawar dalam bentuk jual-beli,
kabarnya dengan sepotong SK
suatu hari akan masuk Bursa Efek Jakarta secara resmi,
Di negeriku rasa aman tak ada karena dua puluh pungutan,
lima belas ini-itu tekanan dan sepuluh macam ancaman,
Di negeriku telepon banyak disadap, mata-mata kelebihan kerja,
fotokopi gosip dan fitnah bertebar disebar-sebar,
Di negeriku sepakbola sudah naik tingkat
jadi pertunjukan teror penonton antarkota
cuma karena sebagian sangat kecil bangsa kita
tak pernah bersedia menerima skor pertandingan
yang disetujui bersama,
Di negeriku rupanya sudah diputuskan
kita tak terlibat Piala Dunia demi keamanan antarbangsa,
lagi pula Piala Dunia itu cuma urusan negara-negara kecil
karena Cina, India, Rusia dan kita tak turut serta,
sehingga cukuplah Indonesia jadi penonton lewat satelit saja,
Di negeriku ada pembunuhan, penculikan
dan penyiksaan rakyat terang-terangan di Aceh,
Tanjung Priuk, Lampung, Haur Koneng,
Nipah, Santa Cruz dan Irian,
ada pula pembantahan terang-terangan
yang merupakan dusta terang-terangan
di bawah cahaya surya terang-terangan,
dan matahari tidak pernah dipanggil ke pengadilan sebagai
saksi terang-terangan,
Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada,
tapi dalam kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang
menyelam di tumpukan jerami selepas menuai padi.
IV
Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret di kepala
Malu aku jadi orang Indonesia.
(1998)
Surat ini adalah sebuah sajak terbuka
Ditulis pada sebuah sore yang biasa. Oleh
Seorang warganegara biasa
Dari republik ini
Surat ini ditujukan kepada
Penguasa-penguasa negeri ini. Mungkin dia
Bernama Presiden. Jenderal. Gubernur.
Barangkali dia Ketua MPRS
Taruhlah dia anggota DPR
Atau pemilik sebuah perusahaan politik
(bernama partai)
Mungkin dia Mayor, Camat atau Jaksa
Atau Menteri. Apa sajalah namanya
Malahan mungkin dia saudara sendiri
Jika ingin saya tanyakan adalah
Tentang harga sebuah nyawa di negara kita
Begitu benarkah murahnya? Agaknya
Setiap bayi dilahirkan di Indonesia
Ketika tali-nyawa diembuskan Tuhan ke pusarnya
Dan menjeritkan tangis-bayinya yang pertama
Ketika sang ibu menahankan pedih rahimnya
Di kamar bersalin
Dan seluruh keluarga mendoa dan menanti ingin
Akan datangnya anggota kemanusiaan baru ini
Ketika itu tak seorangpun tahu
Bahwa 20, 22 atau 25 tahun kemudian
Bayi itu akan ditembak bangsanya sendiri
Dengan pelor yang dibayar dari hasil bumi
Serta pajak kita semua
Di jalan raya.di depan kampus atau di mana saja
Dan dia tergolek di sana jauh dari ibu, yang
Melahirkannya. Jauh dari ayahnya
Yang juga mungkin sudah tiada
Bayi itu pecahlah dadanya. Mungkin tembus keningnya
Darah telah mengantarkannya ke dunia
Darah kasih sayang
Darah lalu melepasnya dari dunia
Darah kebencian
Yang ingin saya tanyakan adalah
Tentang harga sebuah nyawa di negara kita
Begitu benarkah gampangnya?
Apakah mesti pembunuhan itu penyelesaian
Begitu benarkah murahnya? Mungkin sebuah
Nama lebih penting
Disiplin tegang dan kering
Mungkin pengabdian kepada negara asing
Lebih penting
Mungkin
Surat ini adalah sebuah sajak terbuka
Maafkan para studen sastra. Saya telah
Menggunakan bahasa terlalu biasa
Untuk puisi ini. Kalaulah ini bisa disebut puisi
Maalkan saya menggunakan bahasa terlalu biasa
Karena pembunuhan-pembunuhan di negeri inipun
Nampaknya juga sudah mulai terlalu biasa
Kita tak bisa membiarkannya lebih lama)
Kemudian kita dipenuhi pertanyaan
Benarkah nyawa begitu murah harganya?
Untuk suatu penyelesaian
Benarkah harga-diri manusia kita
Benarkah kemanusiaan kita
Begitu murah untuk umpan sebuah pidato
Sebuah ambisi
Sebuah ideologi
Sebuah coretan sejarah
Benarkah?
1965
Ditulis pada sebuah sore yang biasa. Oleh
Seorang warganegara biasa
Dari republik ini
Surat ini ditujukan kepada
Penguasa-penguasa negeri ini. Mungkin dia
Bernama Presiden. Jenderal. Gubernur.
Barangkali dia Ketua MPRS
Taruhlah dia anggota DPR
Atau pemilik sebuah perusahaan politik
(bernama partai)
Mungkin dia Mayor, Camat atau Jaksa
Atau Menteri. Apa sajalah namanya
Malahan mungkin dia saudara sendiri
Jika ingin saya tanyakan adalah
Tentang harga sebuah nyawa di negara kita
Begitu benarkah murahnya? Agaknya
Setiap bayi dilahirkan di Indonesia
Ketika tali-nyawa diembuskan Tuhan ke pusarnya
Dan menjeritkan tangis-bayinya yang pertama
Ketika sang ibu menahankan pedih rahimnya
Di kamar bersalin
Dan seluruh keluarga mendoa dan menanti ingin
Akan datangnya anggota kemanusiaan baru ini
Ketika itu tak seorangpun tahu
Bahwa 20, 22 atau 25 tahun kemudian
Bayi itu akan ditembak bangsanya sendiri
Dengan pelor yang dibayar dari hasil bumi
Serta pajak kita semua
Di jalan raya.di depan kampus atau di mana saja
Dan dia tergolek di sana jauh dari ibu, yang
Melahirkannya. Jauh dari ayahnya
Yang juga mungkin sudah tiada
Bayi itu pecahlah dadanya. Mungkin tembus keningnya
Darah telah mengantarkannya ke dunia
Darah kasih sayang
Darah lalu melepasnya dari dunia
Darah kebencian
Yang ingin saya tanyakan adalah
Tentang harga sebuah nyawa di negara kita
Begitu benarkah gampangnya?
Apakah mesti pembunuhan itu penyelesaian
Begitu benarkah murahnya? Mungkin sebuah
Nama lebih penting
Disiplin tegang dan kering
Mungkin pengabdian kepada negara asing
Lebih penting
Mungkin
Surat ini adalah sebuah sajak terbuka
Maafkan para studen sastra. Saya telah
Menggunakan bahasa terlalu biasa
Untuk puisi ini. Kalaulah ini bisa disebut puisi
Maalkan saya menggunakan bahasa terlalu biasa
Karena pembunuhan-pembunuhan di negeri inipun
Nampaknya juga sudah mulai terlalu biasa
Kita tak bisa membiarkannya lebih lama)
Kemudian kita dipenuhi pertanyaan
Benarkah nyawa begitu murah harganya?
Untuk suatu penyelesaian
Benarkah harga-diri manusia kita
Benarkah kemanusiaan kita
Begitu murah untuk umpan sebuah pidato
Sebuah ambisi
Sebuah ideologi
Sebuah coretan sejarah
Benarkah?
1965
Tiga juta hektar
Halaman surat kabar
Telah dirayapi api
Terbit pagi ini
Panjang empat jari
Dua kolom tegaklurus
Dibongkar dari pik-ap
Subuh dari percetakan
Ditumpuk atas jalan
Dibereskan agen koran
Sebelum matahari dimunculkan
Dilempar ke pekarangan
Dipungut oleh pelayan
Ditaruh di meja makan
Ditengok secara sambilan
Dasi tengah diluruskan
Rambut isteri penataan
Empat anak bersliweran
Pagi penuh kesibukan
Selai di tangan
Roti dalam panggangan
Ketika tangan bersilangan
Kopi tumpah di bacaan
Menyiram tiga juta hektar koran
Dua kolom kepanjangan
Api padam menutup hutan
Koran basah dilipat empat
Keranjang plastik anyaman
Tempat dia dibuangkan
Tepat pagi itu
Jam setengah delapan.
____
1988
Halaman surat kabar
Telah dirayapi api
Terbit pagi ini
Panjang empat jari
Dua kolom tegaklurus
Dibongkar dari pik-ap
Subuh dari percetakan
Ditumpuk atas jalan
Dibereskan agen koran
Sebelum matahari dimunculkan
Dilempar ke pekarangan
Dipungut oleh pelayan
Ditaruh di meja makan
Ditengok secara sambilan
Dasi tengah diluruskan
Rambut isteri penataan
Empat anak bersliweran
Pagi penuh kesibukan
Selai di tangan
Roti dalam panggangan
Ketika tangan bersilangan
Kopi tumpah di bacaan
Menyiram tiga juta hektar koran
Dua kolom kepanjangan
Api padam menutup hutan
Koran basah dilipat empat
Keranjang plastik anyaman
Tempat dia dibuangkan
Tepat pagi itu
Jam setengah delapan.
____
1988
Adalah hujan dalam kabut yang ungu
Turun sepanjang gunung dan bukit biru
Ketika kota cahay dan di mana bertemu
Awan putih yang menghinggapi cemaraku
Adalah kemarau dalam sengangar berdebu
Turun sepanjang gunung dan bukit kelu
Ketika kota tak bicara dan terpaku
Gunung api dan hama di ladang-ladangku
Lereng-lereng senja
Pernah menyinar merah kesumba
Padang hilalang dan bukit membatu
Tanah airku
____
1965
Turun sepanjang gunung dan bukit biru
Ketika kota cahay dan di mana bertemu
Awan putih yang menghinggapi cemaraku
Adalah kemarau dalam sengangar berdebu
Turun sepanjang gunung dan bukit kelu
Ketika kota tak bicara dan terpaku
Gunung api dan hama di ladang-ladangku
Lereng-lereng senja
Pernah menyinar merah kesumba
Padang hilalang dan bukit membatu
Tanah airku
____
1965
Di pusat Harmoni
Pada papan adpertensi
(Arloji Castell)
Tertulis begini : “Dunia Kini
Membutuhkan Waktu Yang Tepat”
Di belakangnya langit pagi
Tembok sungai dan kawat berduri
Pengawalan berjaga. Di istana
Arloji Castell
Berkata pada setiap yang lewat
“Dunia Kini
Membutuhkan Waktu Yang Tepat”.
Pada papan adpertensi
(Arloji Castell)
Tertulis begini : “Dunia Kini
Membutuhkan Waktu Yang Tepat”
Di belakangnya langit pagi
Tembok sungai dan kawat berduri
Pengawalan berjaga. Di istana
Arloji Castell
Berkata pada setiap yang lewat
“Dunia Kini
Membutuhkan Waktu Yang Tepat”.
Disebutkannya nama Musa telah menjadi sebuah rantai yang
mengganggu pikiran para pembacaku, mereka pikir ini adalah
cerita-cerita yang terjadi dahulu kala.
Disebutkannya Musa hanya berfungsi sebagai sebuah topeng,
tetapi cahaya Musa adalah persoalan mutakhir, wahai sahabatku.
Musa dan Fir’aun itu di dalam dirimu:
engkau mesti mencari pihak-pihak yang berlawanan ini
di dalam dirimu-sendiri.
Pembangkitan Musa akan terus berlangsung sampai Hari Kebangkitan:
Cahaya itu tidak berbeda, walaupun lampunya berlain-lainan.
Lampu dari tanah ini berbeda dengan sumbu itu,
tetapi cahaya mereka tidak berbeda: ia dari Alam Sana.
Jika engkau terus memandang kaca lampu, engkau akan bingung,
karena dari kaca muncullah sejumlah keragaman.
Tetapi jika pandanganmu tetap kepada Cahaya,
engkau akan terbebas dari keragaman
dan bermacam-macamnya bentuk yang terbatas.
Dari tempat yang menjadi obyek pandangan,
wahai engkau yang merupakan hakikat keberadaan,
dari sanalah munculnya perbedaan antara seorang yang
beriman sejati dengan seorang Zoroaster,
dan dengan seorang Yahudi.
Seekor gajah ditaruh dalam sebuah ruangan yang gelap:
beberapa orang Hindu membawanya untuk dipamerkan.
Banyak orang datang untuk melihatnya,
semuanya masuk ke dalam kegelapan.
Karena melihatnya dengan mata tidaklah mungkin,
setiap orang merabanya, di tengah kegelapan,
dengan telapak tangan masing-masing.
Orang yang tangannya meraba belalainya berkata:
“Makhluk ini seperti sebuah pipa air.”
Bagi orang yang tangannya menyentuh telinganya,
ia tampak seperti sebuah kipas.
Orang yang lainnya lagi, yang memegang kakiknya,
berkata: “Menurutku bentuk gajah itu seperti sebuah pilar.”
Yang lainnya, yang mengusap punggungnya, berkata:
“Sesungguhnya, gajah ini seperti sebuah singgasana.”
Demikianlah, ketika seseorang mendengar (penjelasan
mengenai sang gajah), dia memahaminya (hanya) sesuai
dengan bagian yang disentuhnya saja.
Berdasarkan (beragamnya) yang menjadi tempat (obyek) dari
pandangan, berbeda-bedalah pernyataan mereka: satu orang
mengatakannya bengkok seperti “dal,” yang lainnya mengatakan
lurus seperti “alif.”
Seandainya masing-masing orang memegang lilin di tangannya,
tiada perbedaan di dalam kata-kata mereka.
Pandangan persepsi-inderawi itu hanyalah bagaikan
telapak tangan; tidaklah telapak tangan itu mempunyai
kemampuan untuk meraih keseluruhan gajah.
Mata bagi Lautan adalah suatu hal, sedangkan buih itu
suatu hal yang lain lagi: tinggalkan buih dan lihatlah
dengan mata bagi Lautan.
Siang-malam, tiada hentinya gerakan arus-buih dari Lautan:
engkau menatap buih, tetapi tidak Lautnya.
Kita bertumbukan satu sama lain, bagaikan perahu:
mata-mata kita gelap, sungguhpun kita berada di air yang jernih.
Wahai engkau yang telah tertidur di dalam perahu raga,
engkau telah melihat air, tetapi lihatlah kepada AIR dari air itu.
Air itu memiliki AIR yang menggerakannya:
jiwa itu memiliki RUH yang memanggilnya.
Dimanakah Musa dan Isa ketika Sang Matahari
menyiramkan air kepada ladang benih ciptaan?
Dimanakah Adam dan Hawa ketika Tuhan memasangkan tali
kepada busur ini?
Lisan ini juga kelu; lisan yang tidak kelu itu dari Sebelah Sana.
Jika dia berbicara dari sumber itu, kakimu akan gemetar;
dan jika dia tidak membicarakan itu, sungguh malang nasibmu!
Dan jika dia berbicara dengan menggunakan ibarat,
wahai anak-muda, engkau akan terhijab oleh bentuk-bentuk itu.
Engkau tertanam ke bumi, bagaikan rumput:
engkau mengangguk-anggukkan kepalamu sesuai hembusan angin,
tanpa kepastian.
Tetapi engkau tak memiliki kaki yang dapat membuatmu
beranjak, atau cobalah menarik kakimu keluar
dari lumpur ini.
Bagaimana mungkin engkau menarik kakimu?
Hidupmu itu dari lumpur ini: luar-biasa beratnya bagi hidup
seperti milikmu untuk berjalan.
(Tetapi) ketika engkau menerima hidup dari Tuhan,
wahai huruf-berirama, engkau menjadi mandiri dari lumpur ini,
dan akan terangkat.
Ketika bayi yang semula menyusui disapih dari perawatnya,
dia menjadi pemakan remah dan beranjak darinya.
Bagaikan benih, engkau terikat kepada susu dari bumi:
upayakanlah untuk menyapih dirimu dengan mencari
makanan bagi qalb-mu.
Minumlah kata-kata Hikmah, karena ia adalah cahaya yang
terhijab, wahai engkau yang tidak mampu menerima
Cahaya tanpa hijab,
Sampai engkau menjadi mampu menerima Cahaya, wahai Jiwa,
sehingga engkau mampu menatap tanpa
hijab kepada sesuatu yang (kini) tersembunyi.
Dan jelajahlah langit bagaikan bintang; atau bahkan
berkelanalah tanpa-batas, bebas dari langit mana pun.
Engkaulah yang datang menjadi dari ketiadaan.
Katakanlah, bagaimana caranya engkau menjadi?
Engkau tiba tanpa menyadarinya.
Bagaimana caranya engkau datang,
tidaklah engkau mengingatnya,
tetapi akan kami lantunkan sebuah isyarat.
Lepaskanlah nalarmu, dan perhatikan!
Tutuplah telingamu, lalu dengarlah!
Tidak, tidak akan aku menceritakannya kepadamu,
karena engkau masih mentah: engkau masih di musim-semimu,
belum lagi engkau sampai ke bulan Tamuz.
Alam dunia ini bagaikan sebatang pohon, wahai makhluk mulia:
kita bagaikan buah setengah-matang pada pohon itu.
Buah setengah-matang melekat erat ke dahan,
karena selama dalam ketidak-matangan mereka,
tidaklah mereka sesuai bagi istana.
Ketika mereka telah matang dan menjadi manis
—sambil menggigit bibirnya—mereka
sekedar menempel saja ke dahan.
Ketika mulut telah dibuat manis oleh kesentosaan itu,
kerajaan alam dunia ini menjadi hambar bagi Lelaki itu.
Berpegangan erat dan melekatnya jiwa seseorang begitu kuatnya
adalah tanda ketidak-matangan: sepanjang engkau itu merupakan
embrio, pekerjaanmu adalah meminum-darah.
Banyak hal yang lainnya lagi, tetapi Ruh al-Quds akan
mengatakan tentang kisah itu, tanpa aku.
Tidak, bahkan engkau akan mengisahkannya ke telingamu sendiri,
tanpa aku ataupun yang selain dari Aku,
wahai engkau yang seperti Aku.
Seperti ketika engkau tertidur,
engkau beranjak dari hadiratmu kepada hadirat dirimu-sendiri:
Engkau mendengar dari dirimu-sendiri,
dan menganggap bahwa seseorang telah menceritakan kepadamu
di dalam mimpi.
Wahai sahabat, engkau bukanlah “engkau” yang tunggal;
tidak, engkau adalah langit dan laut yang dalam.
“Engkau”-mu yang perkasa—sembilan-ratus kali lipat—adalah
lautan dan tempat tenggelamnya seratus “engkau.”
Sebenarnya, apakah yang dimaksud dengan istilah-istilah
jaga dan tidur? Diamlah, karena Tuhan lah yang lebih tahu apa yang benar.
Diamlah,
agar engkau dapat mendengar dari Yang Bersabda,
apa-apa yang tidak akan terdapat dalam pernyataan atau dalam penjelasan.
Diamlah,
agar engkau dapat mendengar dari Matahari,
apa-apa yang tidak tercantum dalam buku atau dalam pemberian.
Diamlah,
agar Jiwa yang berbicara bagimu:
di dalam Bahtera Nuh tinggalkanlah berenang!
__________
(Nicholson, Matsnavi of Rumi, III: 1251 – 1307)
mengganggu pikiran para pembacaku, mereka pikir ini adalah
cerita-cerita yang terjadi dahulu kala.
Disebutkannya Musa hanya berfungsi sebagai sebuah topeng,
tetapi cahaya Musa adalah persoalan mutakhir, wahai sahabatku.
Musa dan Fir’aun itu di dalam dirimu:
engkau mesti mencari pihak-pihak yang berlawanan ini
di dalam dirimu-sendiri.
Pembangkitan Musa akan terus berlangsung sampai Hari Kebangkitan:
Cahaya itu tidak berbeda, walaupun lampunya berlain-lainan.
Lampu dari tanah ini berbeda dengan sumbu itu,
tetapi cahaya mereka tidak berbeda: ia dari Alam Sana.
Jika engkau terus memandang kaca lampu, engkau akan bingung,
karena dari kaca muncullah sejumlah keragaman.
Tetapi jika pandanganmu tetap kepada Cahaya,
engkau akan terbebas dari keragaman
dan bermacam-macamnya bentuk yang terbatas.
Dari tempat yang menjadi obyek pandangan,
wahai engkau yang merupakan hakikat keberadaan,
dari sanalah munculnya perbedaan antara seorang yang
beriman sejati dengan seorang Zoroaster,
dan dengan seorang Yahudi.
Seekor gajah ditaruh dalam sebuah ruangan yang gelap:
beberapa orang Hindu membawanya untuk dipamerkan.
Banyak orang datang untuk melihatnya,
semuanya masuk ke dalam kegelapan.
Karena melihatnya dengan mata tidaklah mungkin,
setiap orang merabanya, di tengah kegelapan,
dengan telapak tangan masing-masing.
Orang yang tangannya meraba belalainya berkata:
“Makhluk ini seperti sebuah pipa air.”
Bagi orang yang tangannya menyentuh telinganya,
ia tampak seperti sebuah kipas.
Orang yang lainnya lagi, yang memegang kakiknya,
berkata: “Menurutku bentuk gajah itu seperti sebuah pilar.”
Yang lainnya, yang mengusap punggungnya, berkata:
“Sesungguhnya, gajah ini seperti sebuah singgasana.”
Demikianlah, ketika seseorang mendengar (penjelasan
mengenai sang gajah), dia memahaminya (hanya) sesuai
dengan bagian yang disentuhnya saja.
Berdasarkan (beragamnya) yang menjadi tempat (obyek) dari
pandangan, berbeda-bedalah pernyataan mereka: satu orang
mengatakannya bengkok seperti “dal,” yang lainnya mengatakan
lurus seperti “alif.”
Seandainya masing-masing orang memegang lilin di tangannya,
tiada perbedaan di dalam kata-kata mereka.
Pandangan persepsi-inderawi itu hanyalah bagaikan
telapak tangan; tidaklah telapak tangan itu mempunyai
kemampuan untuk meraih keseluruhan gajah.
Mata bagi Lautan adalah suatu hal, sedangkan buih itu
suatu hal yang lain lagi: tinggalkan buih dan lihatlah
dengan mata bagi Lautan.
Siang-malam, tiada hentinya gerakan arus-buih dari Lautan:
engkau menatap buih, tetapi tidak Lautnya.
Kita bertumbukan satu sama lain, bagaikan perahu:
mata-mata kita gelap, sungguhpun kita berada di air yang jernih.
Wahai engkau yang telah tertidur di dalam perahu raga,
engkau telah melihat air, tetapi lihatlah kepada AIR dari air itu.
Air itu memiliki AIR yang menggerakannya:
jiwa itu memiliki RUH yang memanggilnya.
Dimanakah Musa dan Isa ketika Sang Matahari
menyiramkan air kepada ladang benih ciptaan?
Dimanakah Adam dan Hawa ketika Tuhan memasangkan tali
kepada busur ini?
Lisan ini juga kelu; lisan yang tidak kelu itu dari Sebelah Sana.
Jika dia berbicara dari sumber itu, kakimu akan gemetar;
dan jika dia tidak membicarakan itu, sungguh malang nasibmu!
Dan jika dia berbicara dengan menggunakan ibarat,
wahai anak-muda, engkau akan terhijab oleh bentuk-bentuk itu.
Engkau tertanam ke bumi, bagaikan rumput:
engkau mengangguk-anggukkan kepalamu sesuai hembusan angin,
tanpa kepastian.
Tetapi engkau tak memiliki kaki yang dapat membuatmu
beranjak, atau cobalah menarik kakimu keluar
dari lumpur ini.
Bagaimana mungkin engkau menarik kakimu?
Hidupmu itu dari lumpur ini: luar-biasa beratnya bagi hidup
seperti milikmu untuk berjalan.
(Tetapi) ketika engkau menerima hidup dari Tuhan,
wahai huruf-berirama, engkau menjadi mandiri dari lumpur ini,
dan akan terangkat.
Ketika bayi yang semula menyusui disapih dari perawatnya,
dia menjadi pemakan remah dan beranjak darinya.
Bagaikan benih, engkau terikat kepada susu dari bumi:
upayakanlah untuk menyapih dirimu dengan mencari
makanan bagi qalb-mu.
Minumlah kata-kata Hikmah, karena ia adalah cahaya yang
terhijab, wahai engkau yang tidak mampu menerima
Cahaya tanpa hijab,
Sampai engkau menjadi mampu menerima Cahaya, wahai Jiwa,
sehingga engkau mampu menatap tanpa
hijab kepada sesuatu yang (kini) tersembunyi.
Dan jelajahlah langit bagaikan bintang; atau bahkan
berkelanalah tanpa-batas, bebas dari langit mana pun.
Engkaulah yang datang menjadi dari ketiadaan.
Katakanlah, bagaimana caranya engkau menjadi?
Engkau tiba tanpa menyadarinya.
Bagaimana caranya engkau datang,
tidaklah engkau mengingatnya,
tetapi akan kami lantunkan sebuah isyarat.
Lepaskanlah nalarmu, dan perhatikan!
Tutuplah telingamu, lalu dengarlah!
Tidak, tidak akan aku menceritakannya kepadamu,
karena engkau masih mentah: engkau masih di musim-semimu,
belum lagi engkau sampai ke bulan Tamuz.
Alam dunia ini bagaikan sebatang pohon, wahai makhluk mulia:
kita bagaikan buah setengah-matang pada pohon itu.
Buah setengah-matang melekat erat ke dahan,
karena selama dalam ketidak-matangan mereka,
tidaklah mereka sesuai bagi istana.
Ketika mereka telah matang dan menjadi manis
—sambil menggigit bibirnya—mereka
sekedar menempel saja ke dahan.
Ketika mulut telah dibuat manis oleh kesentosaan itu,
kerajaan alam dunia ini menjadi hambar bagi Lelaki itu.
Berpegangan erat dan melekatnya jiwa seseorang begitu kuatnya
adalah tanda ketidak-matangan: sepanjang engkau itu merupakan
embrio, pekerjaanmu adalah meminum-darah.
Banyak hal yang lainnya lagi, tetapi Ruh al-Quds akan
mengatakan tentang kisah itu, tanpa aku.
Tidak, bahkan engkau akan mengisahkannya ke telingamu sendiri,
tanpa aku ataupun yang selain dari Aku,
wahai engkau yang seperti Aku.
Seperti ketika engkau tertidur,
engkau beranjak dari hadiratmu kepada hadirat dirimu-sendiri:
Engkau mendengar dari dirimu-sendiri,
dan menganggap bahwa seseorang telah menceritakan kepadamu
di dalam mimpi.
Wahai sahabat, engkau bukanlah “engkau” yang tunggal;
tidak, engkau adalah langit dan laut yang dalam.
“Engkau”-mu yang perkasa—sembilan-ratus kali lipat—adalah
lautan dan tempat tenggelamnya seratus “engkau.”
Sebenarnya, apakah yang dimaksud dengan istilah-istilah
jaga dan tidur? Diamlah, karena Tuhan lah yang lebih tahu apa yang benar.
Diamlah,
agar engkau dapat mendengar dari Yang Bersabda,
apa-apa yang tidak akan terdapat dalam pernyataan atau dalam penjelasan.
Diamlah,
agar engkau dapat mendengar dari Matahari,
apa-apa yang tidak tercantum dalam buku atau dalam pemberian.
Diamlah,
agar Jiwa yang berbicara bagimu:
di dalam Bahtera Nuh tinggalkanlah berenang!
__________
(Nicholson, Matsnavi of Rumi, III: 1251 – 1307)
Seorang pemuda meminta kepada Musa a.s: “Ajari aku bahasa binatang, siapa tahu dari suara hewan dan binatang buas akan kudapat suatu pelajaran untuk memperbaiki agamaku;
Karena bahasa-bahasa Bani Adam semuanya hanya digunakan untuk mencari makanan, minuman dan ketenaran;
Mungkin saja para binatang memperhatikan hal yang berbeda, misalnya, tentang saat-saat bertolaknya kita dari alam-dunia ini.”
“Pergilah,” jawab Musa a.s, “tinggalkanlah hasrat sia-sia itu, karena keinginanmu itu mengandung bahaya di depan dan di belakangnya;
Carilah pelajaran dan kebangkitan jiwa yang engkau inginkan dari Allah, bukannya dari buku dan pembicaraan, kata-kata dan lisan.”
Penolakan Musa a.s malah membuat pemuda itu tambah mendesak: memang biasanya seorang pemuda semakin penasaran jika ditolak keinginannya.
Dia berkata, “Wahai Musa, engkaulah cahaya yang memancar, segala sesuatu mendapatkan jati-dirinya dari engkau;
Yang kuminta itu sangatlah tak-berarti bagi perbendaharaanmu, wahai yang murah-hati, sungguh-sungguh aku akan kecewa jika engkau tidak memberi apa yang kuinginkan, sementara engkau adalah wakil Allah di Bumi.”
Musa a.s berkata, “Yaa Tuhan, pastilah Iblis yang terkutuk telah menipu pemuda dungu ini;Jika kuajari dia, itu akan membahayakannya; sedangkan jika kutolak hatinya akan membatu.”
Tuhan bersabda, “Ajari dia, wahai Musa, karena kemurahan Kami tidak akan menolak permohonan siapa pun.”
Musa a.s berkata, “Yaa Tuhan, dia akan menyesal dan akan menggigit tangannya sendiri sambil merobek-robek bajunya;
Kuasa itu tidaklah cocok untuk semua orang: kelemahan adalah barang-dagangan terbaik bagi seorang abdi.”
Itulah sebabnya kemiskinan adalah kejayaan yang lestari, karena tangan yang tak mampu meraih barang-barang yang dihasrati tidak akan menggenggam sesuatu pun—kecuali ketakutan kepada Tuhan.
Kekayaan dan orang kaya ditolak Tuhan, karena sikap zuhud itu hilang bersama datangnya kuasa.
Kelemahan dan kefakiran adalah pelindung bagi seorang lelaki yang berhadapan dengan ujian dari jiwanya yang rakus dan gelisah.
Kegelisahan itu timbul dari hatinya yang hitam—yang diakrabi syaithan.
Pemakan tanah hanya berhasrat akan tanah: gula seharum mawar tak akan mampu dicerna lelaki dungu itu.
Tuhan bersabda, “Penuhilah permintaannya: biarkanlah dia memiliki kebebasan memilih.”
Kebebasan memilih adalah garam bagi pengabdian; jika tidak demikian tiada kebajikan: lingkaran langit ini bukannya berputar dengan bebas;
Karenanya, berputarnya dia tidaklah menghasilkan ganjaran ataupun hukuman, karena kebebasan memilih lah ada perhitungan bagi kebajikan pada Hari Penghisaban.
Semua makhluk memuji keagungan Tuhan; akan tetapi pengagungan yang tak-terhindarkan itu tidaklah meraih ganjaran.
“Taruhlah sebilah pedang di tangannya, tariklah dia dari kelemahannya berupa ketiadaan kemampuan memilih, sehingga dia dapat menjadi seorang ksatria suci atau seorang penjahat;
Karena ‘Kami telah memuliakan Bani Adam ’[1] dengan memberinya kebebasan memilih: separuh dirinya adalah beruang-madu, separuhnya lagi adalah ular.”
Yang beriman sejati adalah sebuah wadah madu, bagaikan lebah; sebaliknya kaum kafir, adalah wadah racun, bagaikan ular;
Karena lebah hanya memakan bunga harum yang terpilih, sehingga, bagaikan lebah, sengatnya adalah suatu perangkat yang memberikan kehidupan;
Sebaliknya, minuman kaum kafir adalah air kotor: pantas saja dari santapan seperti ini timbul padanya racun.
Mereka yang dituntun Tuhan adalah pancuran kehidupan; mereka yang tertarik godaan ‘hawa’ adalah racun yang mematikan.
Di alam-dunia ini, pujian dan selamat dianugerahkan sehubungan dengan kebajikan dalam kebebasan memilih dan kecermatan yang seksama.
Ketika di dalam penjara, semua pengacau menjadi tekun, menghamba dan berdzikir kepada Tuhan.
Ketika daya untuk bebas memilih telah lenyap, karya menjadi tak-berharga. Perhatikanlah sebelum datang Hari yang merampas modal yang engkau miliki.
Daya untuk bebas memilih adalah modalmu untuk meraih keuntungan. Berhati-hati lah, awasi gerakan daya itu dan perhatikanlah dengan cermat!
Pemuda itu datang lagi, melesat di atas tunggangan ‘Kami telah memuliakan Bani Adam’ : tali-kendali kebebasan-memilih tertenggam di tangan akalnya.
Sekali lagi Musa a.s menasehatinya dengan lembut, “Hal yang engkau inginkan itu akan membuat pucat wajahmu;
Tinggalkanlah hasrat yang sia-sia ini dan takutlah akan Tuhan: Iblis telah menuntunmu untuk menipumu.”
Pemuda itu berkata, “Setidaknya ajarilah aku bahasa anjing penjaga pintu dan unggas yang bersayap itu.”
“Jika demikian,” jawab Musa a.s., “terserah kepadamu! Pergilah, terkabulnya permintaanmu telah tiba: bahasa ke dua binatang itu akan tersingkap kepadamu.”
Ketika fajar tiba, sang pemuda menunggu di ambang pintu, agar dapat segera mencoba kemampuannya.
Pelayan mengibaskan taplak meja, dan sepotong roti, sisa makan malam, terlempar.
Secepat-kilat seekor ayam jantan menyambarnya.
Seekor anjing protes, “Pergi! Engkau mencurangiku;
Cukuplah untukmu sejemput jagung atau gandum, sementara perutku tidak bisa mencerna biji-bijian.
Sepotong roti itu, yang seharusnya bagian kita—teganya engkau mengambil dari seekor anjing!”
Sang ayam jantan berkata kepada anjing tersebut, “Diamlah, jangan bersedih, karena Tuhan akan memberimu sesuatu yang lain, dan bukannya roti ini;
Kuda milik Khwaja akan segera mati: besok engkau akan makan kenyang dan tidak perlu bersedih sekarang;
Matinya kuda itu akan jadi hari-pesta bagi anjing: akan ada banyak makanan tanpa perlu berdaya-upaya.”
Ketika sang pemuda, Khwaja, mendengar pembicaraan mereka, cepat-cepat kuda tersebut dijualnya.
Segera ayam jantan itu tampak hina di mata si anjing.
Keesokan harinya sang ayam jantan menyambar roti dengan cara yang sama, dan kembali sang anjing berkata kepadanya:
“Wahai ayam yang buruk, apakah engkau akan berbohong lagi? Engkau jahat, palsu dan rendah;
Kemana kuda yang katamu akan mati? Engkau bagaikan orang buta yang bercerita tentang bintang-bintang yang tidak pernah kau lihat.”
Sang ayam jantan menjawab, “Kudanya mati di tempat lain;
Dia telah menjual kuda tersebut dan lolos dari kerugian: dia menimpakan kerugiannya kepada orang lain;
Tetapi, besok, keledainya akan mati: itu akan jadi kabar baik bagi anjing; jadi, diamlah!”
Sang pemuda yang rakus itu pun segera menjual keledainya dan langsung terhindar dari kerugian dan kesedihan.
Pada hari ke tiga, sang anjing berkata kepada ayam jantan, “Wahai tukang bohong, apalagi alasanmu kali ini?”
Sang ayam jantan menjawab, “Dia tergesa-gesa menjual keledainya; tetapi,” tambahnya, “besok budaknya akan sakit parah;
Dan ketika budak itu meninggal, saudara-saudaranya akan menebarkan potongan-potongan roti untuk para pengemis dan anjing.”
Sang pemuda yang mendengar percakapan ini segera menjual budaknya: dia terhindar dari kerugian, wajahnya tampak berseri-seri;
Dia bersyukur dan gembira, sambil berkata sendiri, “Aku telah selamat dari kemalangan-kemalangan di alam-dunia ini;
Sejak kupelajari bahasa unggas dan anjing aku telah membutakan mata-takdir yang jahat.”
Keesokan harinya, si anjing yang kecewa berkata, “wahai ayam penipu, mana semua hal yang engkau janjikan kepadaku?
Mau berapa lama lagi kepalsuan dan tipuanmu berlangsung? Sungguh, tiada yang muncul dari sarangmu kecuali kepalsuan!”
Sang ayam jantan menjawab, “Diriku dan kaumku tidaklah seperti itu, sama sekali kami tidak suka menipu;
Ayam jantan seperti kami ini adalah saksi yang benar—bagaikan muazzin: kami adalah pengamat matahari sekaligus pencari saat yang tepat;
Dalam diri kami selalu kami mengamati matahari, sekali pun engkau tutupkan wadah membungkus kami.”
Pengamat matahari Hakikat adalah para awliya: kehidupan mereka akrab dengan rahasia-rahasia Ilahiah.
(Ayam jantan melanjutkan,) “Kaum kami adalah hadiah dari Tuhan bagi manusia, untuk memanggilnya mempersiapkan diri bershalat;
Jika kami menyerunya bershalat di waktu yang salah, tentulah itu suatu hal yang dapat menyebabkan kami disembelih;
Mengatakan, ‘Mari meraih kemenangan,’ pada saat yang salah akan membuat darah kami halal ditumpahkan.”
Ayam jantan Hakiki adalah yang Tuhan lindungi dari dosa dan dibersihkan-Nya dari kesalahan, untuk menjadi Jiwa dari Ilham-Ilahiah.
(Ayam jantan melanjutkan,) “Budak itu mati di rumah: sehingga kerugian ditanggung sepenuhnya oleh pembelinya;
Pemuda tersebut berhasil menghindarkan kerugian atas hartanya, tetapi pahamilah: dia telah menumpahkan darahnya sendiri!”
Satu kehilangan akan dapat mencegah banyak kehilangan: tubuh dan harta kita adalah tebusan bagi jiwa kita.
Di hadirat para raja, ketika mereka memutuskan hukuman, engkau akan menawarkan hartamu untuk menebus kepalamu:
Lalu mengapa, di hadapan takdir Ilahiah, engkau bersikap bakhil—menggenggam erat-erat hartamu dari Sang Hakim Tertinggi.
(Ayam jantan melanjutkan,) “Tetapi, besok dia akan mati: pewarisnya, dalam kesedihannya, akan menyembelih seekor sapi;
Sang pemilik rumah ini akan mati dan meninggalkan alam-dunia, besok banyak makanan akan engkau jumpai;
Semua pihak akan mendapatkan bagian, potongan-potongan kue yang indah dan lezat akan dibagikan;
Daging sapi dan roti akan ditebarkan dengan cepat, bahkan bagi para pengemis dan anjing.”
Kematian kuda, keledai dan budaknya telah membawa bencana bagi pemuda dungu yang tertipu ini.
Dia meloloskan diri dari kehilangan harta dan ketakutan yang timbul dari hal itu: hanya untuk meningkatkan hartanya dan menumpahkan darahnya sendiri.
Zuhud-nya para darwis—untuk apakah semua itu? Maksud dari penggemblengan raga itu adalah untuk lestarinya kehidupan jiwa.
Jika tidak untuk mendapatkan kehidupan jiwa yang lestari untuk apakah seorang pejalan sampai membuat raganya sakit dan lemah?
Tidaklah dia akan mengggerakkan tangannya untuk menyumbangkan sesuatu atau berkarya pengabdian jika dia tidak melihat ganjaran berupa penyelamatan jiwanya.
Yang memberi tanpa mengharapkan suatu balasan apa pun adalah Tuhan, adalah Tuhan, adalah Tuhan.
Atau para Awliya Allah, yang telah berakhlak dengan akhlak-Nya dan telah menjadi terang karena menerima Pencahayaan Mutlak.
Karena Dia itu al-Ghaniy, sementara semua selain Dia itu fakir: bagaimanakah seorang yang fakir berkata, “Ambilah,” tanpa balasan.
Sampai seorang anak yakin akan memperoleh ganti sebutir apel, tidak akan dia melepaskan sebutir bawang yang berbau dari genggamannya.
Para pedagang, demi memperoleh benda duniawi, duduk di kiosnya masing-masing—semuanya mengharapkan keuntungan:
Mereka menawarkan aneka barang, sementara di dalam hati mereka niatnya hanyalah mendapatkan balasan keuntungan.
Wahai penganut ad-Diin, tak akan engkau dengar satu pun ‘salaam’ yang pengucapnya tidak mengharapkan sesuatu darimu.
Tak pernah aku mendengar, dari siapa pun, suatu ‘salaam’ yang suci dari suatu maksud apa pun; sungguh pun demikian, wahai saudaraku, terimalah salaamku: As-salaamu alaykum.
Kecuali Salaam Allah. Mari, mari, carilah salam itu dari rumah ke rumah, dari istana ke istana, dan dari satu jalan ke jalan lain!
Dari lisan Lelaki yang mulutnya wangi sejati, kudengar salaam-nya dan salaam Allah.
Dan dalam pengharapan akan salaam yang itu, kudengar dengan hatiku semua salaam yang lain, bagaikan mereka itu lebih manis dari hidup.
Salaam seorang Waliullah telah menjadi salaam Allah karena dia telah membakar para warga dari jiwanya sendiri.
Dia telah mati dari dirinya sendiri dan lalu hidup melalui Tuhan: sehingga rahasia-rahasia Ilahiah berada di lisannya.
Matinya hasrat ragawi dalam hidup zuhud adalah bangkitnya kehidupan: penderitaan jasmani ini menyebabkan lestarinya jiwa.
Pemuda yang tertipu itu telah dipinjami telinga: dia mendengar dari sang ayam jantan warta kematiannya sendiri.
Ketika mendengar hal ini, segera sang pemuda bergegas berlari ke rumah Musa a.s, Kalamullah.
Wajahnya berbalut debu ketakutan; dia memohon, “Selamatkan aku dari bencana ini, yaa Kalim!”
Musa a.s. menjawab, “Pergi dan loloskan dirimu dengan menjual dirimu sendiri! Bukankah engkau kini telah piawai dalam soal menghindar dari kerugian, melompatlah dari jurang kematian!”
Timpakan lah kerugianmu kepada mereka yang ber-‘iman billlah! Gandakanlah isi dompet dan rekeningmu!
Telah kutatap takdir ini pada lembarannya, yang bagimu hanya tampak seperti bayangan dalam cermin.
Lelaki ber-‘aql melihat, dengan qalb-nya, ujung suatu persoalan sedari awal; sementara yang tidak berpengetahuan melihatnya hanya pada saat akhir.”
Sekali lagi, pemuda malang itu bermohon, dengan mengatakan, “Wahai engkau yang berakhlak mulia, jangan pukul kepalaku, jangan gosok wajahku dengan dosa yang telah kulakukan.
Dosaku itu terlahir dariku karena aku tidak-berharga: balaslah dengan kebaikan atas keburukan yang telah kukerjakan.”
Dia a.s. menjawab, “Sebatang anak-panah telah melesat dari dari jemari: tidak akan dia kembali ke sumbernya;
Tetapi aku memohon kemurahan Tuhan agar engkau membawa keimanan saat engkau bertolak kembali dari alam-dunia ini;
Ketika engkau berangkat bersama ‘iman, engkau hidup: ketika engkau bertolak bersama ‘iman, engkau lestari.”
Seketika Khwaja menjadi pucat, tubuhnya gemetar, sehingga orang-orang membawa untuknya sebuah wadah.
Ini adalah getaran kematian, bukannya karena salah-pencernaan: muntah tidak akan melegakanmu, wahai pemuda yang malang.
Empat orang membawanya masuk ke rumahnya: ‘bertaut betis kiri dengan betis kanannya.’ [2]
Jika tak engkau patuhi nasehat seorang seperti Musa a.s. dan merendahkannya, maka engkau menebaskan dirimu sendiri ke sebilah pedang baja.
Pedang itu tidak akan ragu sedikit pun mengambil hidupmu: ini adalah kesalahanmu sendiri, wahai sobat, salahmu sendiri!
Di waktu fajar, Musa a.s. bermohon, “Yaa Tuhan, jangan ambil ‘iman darinya, jangan ambil ‘imannya!
Kiranya Engkau bermurah-hati, ampunilah dia, karena dia telah bersalah, bertindak gegabah dan sangat melampaui batas.
Telah kukatakan kepadanya, ‘Pengetahuan ini bukanlah untukmu,’ tetapi dia menganggap ucapanku hanyalah untuk menggagalkan keinginannya.”
Dia lah yang tangannya menggenggam naga, dan hanya lelaki itu lah yang tangannya membuat sebatang tongkat menjadi seekor naga.
Mempelajari rahasia dari Kegaiban hanya sesuai untuk dia yang dapat mengunci bibirnya dari berkata-kata.
Burung-laut lah yang sesuai untuk hidup di laut. Pahamilah ini—dan hanya Allah yang dapat menunjuki arah yang benar.
“Pemuda yang keras-kepala itu melompat ke dalam laut, dan dia bukanlah burung-laut: dia tenggelam. Genggamlah tangannya, dan bangkitkan dia, wahai Yang-Tercinta!”
Kemudian Tuhan bersabda, “Telah Ku-anugerahkan ‘iman kepadanya, dan jika engkau kehendaki, saat ini juga akan Kuhidupkan dia;
Bahkan, bagimu, akan Ku-hidupkan, saat ini juga, semua yang telah mati di bumi.”
Musa a.s. menjawab, “Ini adalah alam bagi mereka yang mati: bangkitkanlah mereka di alam yang berbeda, yaitu di tempat yang terang-benderang.
Mengingat tataran ketidak-abadian ini bukanlah alam Wujud Hakiki, maka kembali ke suatu tempat pinjaman sementara bukanlah suatu perolehan yang bernilai.
Limpahkanlah anugerah rahmat kepada mereka yang, bahkan saat ini, berada dalam ruang rahasia dari ‘yang berhimpun di hadhirat Kami’ .”
Kusampaikan kisah ini agar engkau paham bahwa kehilangan harta dan jiwa adalah suatu keuntungan bagi jiwa dan membebaskan jiwa dari keterikatan.
Karenanya, dengan seluruh dirimu, jadilah seorang pembeli pengabdian: engkau akan menebus dan menyelamatkan jiwamu ketika engkau serahkan ragamu untuk melayani-Nya.
Dan jika pengabdian itu datang kepadamu tanpa sedikit pun kebebasan memilih pada pihakmu, maka tundukkanlah kepalamu: rendahkanlah dirimu dan bersyukurlah, wahai pejalan yang berhasil.
Bersyukurlah, karena Allah lah yang telah memberimu keadaan itu: bukan engkau yang telah mengerjakannya; Dia lah yang telah menarikmu kepada hal itu dengan sabda-Nya, “Kun! ”
__________
Sumber: Matsnavi of Rumi, III: 3266 - 3398, Penerjemah: Nicholson
Catatan:
[1] QS Al Israa’ [17]: 70
[2] QS Al Qiyaamah [75]: 29
Karena bahasa-bahasa Bani Adam semuanya hanya digunakan untuk mencari makanan, minuman dan ketenaran;
Mungkin saja para binatang memperhatikan hal yang berbeda, misalnya, tentang saat-saat bertolaknya kita dari alam-dunia ini.”
“Pergilah,” jawab Musa a.s, “tinggalkanlah hasrat sia-sia itu, karena keinginanmu itu mengandung bahaya di depan dan di belakangnya;
Carilah pelajaran dan kebangkitan jiwa yang engkau inginkan dari Allah, bukannya dari buku dan pembicaraan, kata-kata dan lisan.”
Penolakan Musa a.s malah membuat pemuda itu tambah mendesak: memang biasanya seorang pemuda semakin penasaran jika ditolak keinginannya.
Dia berkata, “Wahai Musa, engkaulah cahaya yang memancar, segala sesuatu mendapatkan jati-dirinya dari engkau;
Yang kuminta itu sangatlah tak-berarti bagi perbendaharaanmu, wahai yang murah-hati, sungguh-sungguh aku akan kecewa jika engkau tidak memberi apa yang kuinginkan, sementara engkau adalah wakil Allah di Bumi.”
Musa a.s berkata, “Yaa Tuhan, pastilah Iblis yang terkutuk telah menipu pemuda dungu ini;Jika kuajari dia, itu akan membahayakannya; sedangkan jika kutolak hatinya akan membatu.”
Tuhan bersabda, “Ajari dia, wahai Musa, karena kemurahan Kami tidak akan menolak permohonan siapa pun.”
Musa a.s berkata, “Yaa Tuhan, dia akan menyesal dan akan menggigit tangannya sendiri sambil merobek-robek bajunya;
Kuasa itu tidaklah cocok untuk semua orang: kelemahan adalah barang-dagangan terbaik bagi seorang abdi.”
Itulah sebabnya kemiskinan adalah kejayaan yang lestari, karena tangan yang tak mampu meraih barang-barang yang dihasrati tidak akan menggenggam sesuatu pun—kecuali ketakutan kepada Tuhan.
Kekayaan dan orang kaya ditolak Tuhan, karena sikap zuhud itu hilang bersama datangnya kuasa.
Kelemahan dan kefakiran adalah pelindung bagi seorang lelaki yang berhadapan dengan ujian dari jiwanya yang rakus dan gelisah.
Kegelisahan itu timbul dari hatinya yang hitam—yang diakrabi syaithan.
Pemakan tanah hanya berhasrat akan tanah: gula seharum mawar tak akan mampu dicerna lelaki dungu itu.
Tuhan bersabda, “Penuhilah permintaannya: biarkanlah dia memiliki kebebasan memilih.”
Kebebasan memilih adalah garam bagi pengabdian; jika tidak demikian tiada kebajikan: lingkaran langit ini bukannya berputar dengan bebas;
Karenanya, berputarnya dia tidaklah menghasilkan ganjaran ataupun hukuman, karena kebebasan memilih lah ada perhitungan bagi kebajikan pada Hari Penghisaban.
Semua makhluk memuji keagungan Tuhan; akan tetapi pengagungan yang tak-terhindarkan itu tidaklah meraih ganjaran.
“Taruhlah sebilah pedang di tangannya, tariklah dia dari kelemahannya berupa ketiadaan kemampuan memilih, sehingga dia dapat menjadi seorang ksatria suci atau seorang penjahat;
Karena ‘Kami telah memuliakan Bani Adam ’[1] dengan memberinya kebebasan memilih: separuh dirinya adalah beruang-madu, separuhnya lagi adalah ular.”
Yang beriman sejati adalah sebuah wadah madu, bagaikan lebah; sebaliknya kaum kafir, adalah wadah racun, bagaikan ular;
Karena lebah hanya memakan bunga harum yang terpilih, sehingga, bagaikan lebah, sengatnya adalah suatu perangkat yang memberikan kehidupan;
Sebaliknya, minuman kaum kafir adalah air kotor: pantas saja dari santapan seperti ini timbul padanya racun.
Mereka yang dituntun Tuhan adalah pancuran kehidupan; mereka yang tertarik godaan ‘hawa’ adalah racun yang mematikan.
Di alam-dunia ini, pujian dan selamat dianugerahkan sehubungan dengan kebajikan dalam kebebasan memilih dan kecermatan yang seksama.
Ketika di dalam penjara, semua pengacau menjadi tekun, menghamba dan berdzikir kepada Tuhan.
Ketika daya untuk bebas memilih telah lenyap, karya menjadi tak-berharga. Perhatikanlah sebelum datang Hari yang merampas modal yang engkau miliki.
Daya untuk bebas memilih adalah modalmu untuk meraih keuntungan. Berhati-hati lah, awasi gerakan daya itu dan perhatikanlah dengan cermat!
Pemuda itu datang lagi, melesat di atas tunggangan ‘Kami telah memuliakan Bani Adam’ : tali-kendali kebebasan-memilih tertenggam di tangan akalnya.
Sekali lagi Musa a.s menasehatinya dengan lembut, “Hal yang engkau inginkan itu akan membuat pucat wajahmu;
Tinggalkanlah hasrat yang sia-sia ini dan takutlah akan Tuhan: Iblis telah menuntunmu untuk menipumu.”
Pemuda itu berkata, “Setidaknya ajarilah aku bahasa anjing penjaga pintu dan unggas yang bersayap itu.”
“Jika demikian,” jawab Musa a.s., “terserah kepadamu! Pergilah, terkabulnya permintaanmu telah tiba: bahasa ke dua binatang itu akan tersingkap kepadamu.”
Ketika fajar tiba, sang pemuda menunggu di ambang pintu, agar dapat segera mencoba kemampuannya.
Pelayan mengibaskan taplak meja, dan sepotong roti, sisa makan malam, terlempar.
Secepat-kilat seekor ayam jantan menyambarnya.
Seekor anjing protes, “Pergi! Engkau mencurangiku;
Cukuplah untukmu sejemput jagung atau gandum, sementara perutku tidak bisa mencerna biji-bijian.
Sepotong roti itu, yang seharusnya bagian kita—teganya engkau mengambil dari seekor anjing!”
Sang ayam jantan berkata kepada anjing tersebut, “Diamlah, jangan bersedih, karena Tuhan akan memberimu sesuatu yang lain, dan bukannya roti ini;
Kuda milik Khwaja akan segera mati: besok engkau akan makan kenyang dan tidak perlu bersedih sekarang;
Matinya kuda itu akan jadi hari-pesta bagi anjing: akan ada banyak makanan tanpa perlu berdaya-upaya.”
Ketika sang pemuda, Khwaja, mendengar pembicaraan mereka, cepat-cepat kuda tersebut dijualnya.
Segera ayam jantan itu tampak hina di mata si anjing.
Keesokan harinya sang ayam jantan menyambar roti dengan cara yang sama, dan kembali sang anjing berkata kepadanya:
“Wahai ayam yang buruk, apakah engkau akan berbohong lagi? Engkau jahat, palsu dan rendah;
Kemana kuda yang katamu akan mati? Engkau bagaikan orang buta yang bercerita tentang bintang-bintang yang tidak pernah kau lihat.”
Sang ayam jantan menjawab, “Kudanya mati di tempat lain;
Dia telah menjual kuda tersebut dan lolos dari kerugian: dia menimpakan kerugiannya kepada orang lain;
Tetapi, besok, keledainya akan mati: itu akan jadi kabar baik bagi anjing; jadi, diamlah!”
Sang pemuda yang rakus itu pun segera menjual keledainya dan langsung terhindar dari kerugian dan kesedihan.
Pada hari ke tiga, sang anjing berkata kepada ayam jantan, “Wahai tukang bohong, apalagi alasanmu kali ini?”
Sang ayam jantan menjawab, “Dia tergesa-gesa menjual keledainya; tetapi,” tambahnya, “besok budaknya akan sakit parah;
Dan ketika budak itu meninggal, saudara-saudaranya akan menebarkan potongan-potongan roti untuk para pengemis dan anjing.”
Sang pemuda yang mendengar percakapan ini segera menjual budaknya: dia terhindar dari kerugian, wajahnya tampak berseri-seri;
Dia bersyukur dan gembira, sambil berkata sendiri, “Aku telah selamat dari kemalangan-kemalangan di alam-dunia ini;
Sejak kupelajari bahasa unggas dan anjing aku telah membutakan mata-takdir yang jahat.”
Keesokan harinya, si anjing yang kecewa berkata, “wahai ayam penipu, mana semua hal yang engkau janjikan kepadaku?
Mau berapa lama lagi kepalsuan dan tipuanmu berlangsung? Sungguh, tiada yang muncul dari sarangmu kecuali kepalsuan!”
Sang ayam jantan menjawab, “Diriku dan kaumku tidaklah seperti itu, sama sekali kami tidak suka menipu;
Ayam jantan seperti kami ini adalah saksi yang benar—bagaikan muazzin: kami adalah pengamat matahari sekaligus pencari saat yang tepat;
Dalam diri kami selalu kami mengamati matahari, sekali pun engkau tutupkan wadah membungkus kami.”
Pengamat matahari Hakikat adalah para awliya: kehidupan mereka akrab dengan rahasia-rahasia Ilahiah.
(Ayam jantan melanjutkan,) “Kaum kami adalah hadiah dari Tuhan bagi manusia, untuk memanggilnya mempersiapkan diri bershalat;
Jika kami menyerunya bershalat di waktu yang salah, tentulah itu suatu hal yang dapat menyebabkan kami disembelih;
Mengatakan, ‘Mari meraih kemenangan,’ pada saat yang salah akan membuat darah kami halal ditumpahkan.”
Ayam jantan Hakiki adalah yang Tuhan lindungi dari dosa dan dibersihkan-Nya dari kesalahan, untuk menjadi Jiwa dari Ilham-Ilahiah.
(Ayam jantan melanjutkan,) “Budak itu mati di rumah: sehingga kerugian ditanggung sepenuhnya oleh pembelinya;
Pemuda tersebut berhasil menghindarkan kerugian atas hartanya, tetapi pahamilah: dia telah menumpahkan darahnya sendiri!”
Satu kehilangan akan dapat mencegah banyak kehilangan: tubuh dan harta kita adalah tebusan bagi jiwa kita.
Di hadirat para raja, ketika mereka memutuskan hukuman, engkau akan menawarkan hartamu untuk menebus kepalamu:
Lalu mengapa, di hadapan takdir Ilahiah, engkau bersikap bakhil—menggenggam erat-erat hartamu dari Sang Hakim Tertinggi.
(Ayam jantan melanjutkan,) “Tetapi, besok dia akan mati: pewarisnya, dalam kesedihannya, akan menyembelih seekor sapi;
Sang pemilik rumah ini akan mati dan meninggalkan alam-dunia, besok banyak makanan akan engkau jumpai;
Semua pihak akan mendapatkan bagian, potongan-potongan kue yang indah dan lezat akan dibagikan;
Daging sapi dan roti akan ditebarkan dengan cepat, bahkan bagi para pengemis dan anjing.”
Kematian kuda, keledai dan budaknya telah membawa bencana bagi pemuda dungu yang tertipu ini.
Dia meloloskan diri dari kehilangan harta dan ketakutan yang timbul dari hal itu: hanya untuk meningkatkan hartanya dan menumpahkan darahnya sendiri.
Zuhud-nya para darwis—untuk apakah semua itu? Maksud dari penggemblengan raga itu adalah untuk lestarinya kehidupan jiwa.
Jika tidak untuk mendapatkan kehidupan jiwa yang lestari untuk apakah seorang pejalan sampai membuat raganya sakit dan lemah?
Tidaklah dia akan mengggerakkan tangannya untuk menyumbangkan sesuatu atau berkarya pengabdian jika dia tidak melihat ganjaran berupa penyelamatan jiwanya.
Yang memberi tanpa mengharapkan suatu balasan apa pun adalah Tuhan, adalah Tuhan, adalah Tuhan.
Atau para Awliya Allah, yang telah berakhlak dengan akhlak-Nya dan telah menjadi terang karena menerima Pencahayaan Mutlak.
Karena Dia itu al-Ghaniy, sementara semua selain Dia itu fakir: bagaimanakah seorang yang fakir berkata, “Ambilah,” tanpa balasan.
Sampai seorang anak yakin akan memperoleh ganti sebutir apel, tidak akan dia melepaskan sebutir bawang yang berbau dari genggamannya.
Para pedagang, demi memperoleh benda duniawi, duduk di kiosnya masing-masing—semuanya mengharapkan keuntungan:
Mereka menawarkan aneka barang, sementara di dalam hati mereka niatnya hanyalah mendapatkan balasan keuntungan.
Wahai penganut ad-Diin, tak akan engkau dengar satu pun ‘salaam’ yang pengucapnya tidak mengharapkan sesuatu darimu.
Tak pernah aku mendengar, dari siapa pun, suatu ‘salaam’ yang suci dari suatu maksud apa pun; sungguh pun demikian, wahai saudaraku, terimalah salaamku: As-salaamu alaykum.
Kecuali Salaam Allah. Mari, mari, carilah salam itu dari rumah ke rumah, dari istana ke istana, dan dari satu jalan ke jalan lain!
Dari lisan Lelaki yang mulutnya wangi sejati, kudengar salaam-nya dan salaam Allah.
Dan dalam pengharapan akan salaam yang itu, kudengar dengan hatiku semua salaam yang lain, bagaikan mereka itu lebih manis dari hidup.
Salaam seorang Waliullah telah menjadi salaam Allah karena dia telah membakar para warga dari jiwanya sendiri.
Dia telah mati dari dirinya sendiri dan lalu hidup melalui Tuhan: sehingga rahasia-rahasia Ilahiah berada di lisannya.
Matinya hasrat ragawi dalam hidup zuhud adalah bangkitnya kehidupan: penderitaan jasmani ini menyebabkan lestarinya jiwa.
Pemuda yang tertipu itu telah dipinjami telinga: dia mendengar dari sang ayam jantan warta kematiannya sendiri.
Ketika mendengar hal ini, segera sang pemuda bergegas berlari ke rumah Musa a.s, Kalamullah.
Wajahnya berbalut debu ketakutan; dia memohon, “Selamatkan aku dari bencana ini, yaa Kalim!”
Musa a.s. menjawab, “Pergi dan loloskan dirimu dengan menjual dirimu sendiri! Bukankah engkau kini telah piawai dalam soal menghindar dari kerugian, melompatlah dari jurang kematian!”
Timpakan lah kerugianmu kepada mereka yang ber-‘iman billlah! Gandakanlah isi dompet dan rekeningmu!
Telah kutatap takdir ini pada lembarannya, yang bagimu hanya tampak seperti bayangan dalam cermin.
Lelaki ber-‘aql melihat, dengan qalb-nya, ujung suatu persoalan sedari awal; sementara yang tidak berpengetahuan melihatnya hanya pada saat akhir.”
Sekali lagi, pemuda malang itu bermohon, dengan mengatakan, “Wahai engkau yang berakhlak mulia, jangan pukul kepalaku, jangan gosok wajahku dengan dosa yang telah kulakukan.
Dosaku itu terlahir dariku karena aku tidak-berharga: balaslah dengan kebaikan atas keburukan yang telah kukerjakan.”
Dia a.s. menjawab, “Sebatang anak-panah telah melesat dari dari jemari: tidak akan dia kembali ke sumbernya;
Tetapi aku memohon kemurahan Tuhan agar engkau membawa keimanan saat engkau bertolak kembali dari alam-dunia ini;
Ketika engkau berangkat bersama ‘iman, engkau hidup: ketika engkau bertolak bersama ‘iman, engkau lestari.”
Seketika Khwaja menjadi pucat, tubuhnya gemetar, sehingga orang-orang membawa untuknya sebuah wadah.
Ini adalah getaran kematian, bukannya karena salah-pencernaan: muntah tidak akan melegakanmu, wahai pemuda yang malang.
Empat orang membawanya masuk ke rumahnya: ‘bertaut betis kiri dengan betis kanannya.’ [2]
Jika tak engkau patuhi nasehat seorang seperti Musa a.s. dan merendahkannya, maka engkau menebaskan dirimu sendiri ke sebilah pedang baja.
Pedang itu tidak akan ragu sedikit pun mengambil hidupmu: ini adalah kesalahanmu sendiri, wahai sobat, salahmu sendiri!
Di waktu fajar, Musa a.s. bermohon, “Yaa Tuhan, jangan ambil ‘iman darinya, jangan ambil ‘imannya!
Kiranya Engkau bermurah-hati, ampunilah dia, karena dia telah bersalah, bertindak gegabah dan sangat melampaui batas.
Telah kukatakan kepadanya, ‘Pengetahuan ini bukanlah untukmu,’ tetapi dia menganggap ucapanku hanyalah untuk menggagalkan keinginannya.”
Dia lah yang tangannya menggenggam naga, dan hanya lelaki itu lah yang tangannya membuat sebatang tongkat menjadi seekor naga.
Mempelajari rahasia dari Kegaiban hanya sesuai untuk dia yang dapat mengunci bibirnya dari berkata-kata.
Burung-laut lah yang sesuai untuk hidup di laut. Pahamilah ini—dan hanya Allah yang dapat menunjuki arah yang benar.
“Pemuda yang keras-kepala itu melompat ke dalam laut, dan dia bukanlah burung-laut: dia tenggelam. Genggamlah tangannya, dan bangkitkan dia, wahai Yang-Tercinta!”
Kemudian Tuhan bersabda, “Telah Ku-anugerahkan ‘iman kepadanya, dan jika engkau kehendaki, saat ini juga akan Kuhidupkan dia;
Bahkan, bagimu, akan Ku-hidupkan, saat ini juga, semua yang telah mati di bumi.”
Musa a.s. menjawab, “Ini adalah alam bagi mereka yang mati: bangkitkanlah mereka di alam yang berbeda, yaitu di tempat yang terang-benderang.
Mengingat tataran ketidak-abadian ini bukanlah alam Wujud Hakiki, maka kembali ke suatu tempat pinjaman sementara bukanlah suatu perolehan yang bernilai.
Limpahkanlah anugerah rahmat kepada mereka yang, bahkan saat ini, berada dalam ruang rahasia dari ‘yang berhimpun di hadhirat Kami’ .”
Kusampaikan kisah ini agar engkau paham bahwa kehilangan harta dan jiwa adalah suatu keuntungan bagi jiwa dan membebaskan jiwa dari keterikatan.
Karenanya, dengan seluruh dirimu, jadilah seorang pembeli pengabdian: engkau akan menebus dan menyelamatkan jiwamu ketika engkau serahkan ragamu untuk melayani-Nya.
Dan jika pengabdian itu datang kepadamu tanpa sedikit pun kebebasan memilih pada pihakmu, maka tundukkanlah kepalamu: rendahkanlah dirimu dan bersyukurlah, wahai pejalan yang berhasil.
Bersyukurlah, karena Allah lah yang telah memberimu keadaan itu: bukan engkau yang telah mengerjakannya; Dia lah yang telah menarikmu kepada hal itu dengan sabda-Nya, “Kun! ”
__________
Sumber: Matsnavi of Rumi, III: 3266 - 3398, Penerjemah: Nicholson
Catatan:
[1] QS Al Israa’ [17]: 70
[2] QS Al Qiyaamah [75]: 29
Taufiq Ismail, dilahirkan di Bukittinggi, 25 Juni 1937, lulusan Fakultas Kedokteran Hewan UI, redaktur senior Horison. Penerima Anugerah Seni dari pemerintah RI tahun 1970 dan Sastra ASEAN tahun 1994 ini telah berjasa besar dalam memasyarakatkan, mengembangkan dan memajukan sastra Indonesia bersama tokoh-tokoh lain seperti Sutarji Calzoum Bachri, Agus R. Sarjono, Jamal D. Rahman, Abdul Hamid Jabbar (almarhum) melalui program SBSB (Sastrawan Buicara Siswa Bertanya) di sekolah-sekolah (SMA/MAN/SMK) di seluruh Indonesia tahun 2000 – 2004. Karena jasa-jasanya dan prestasinya, Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) memberinya gelar Doktor Honoris Causa dalam bidang sastra.
Penyair ini terkenal dengan kumpulan sanjak Tirani dan Benteng, tertbit tahun 1966. Sanjak berjudul Seorang Tukang Rambutan dan Istrinya, Karangan Bunga, Sebuah Jaket Berlumur Darah, Kami adalah Pemilik Sah Republik Ini, Yang Kami Minta Hanyalah…bisa dijumpai dalam buku-buku tersebut. Kumpulan sanjaknya yang lain, Sajak Ladang Jagung (1973) terbit setelah ia pulang dari Amerika. Dalam buku tersebut, kita bisa membaca Kembalikan Indonesia Padaku, Beri Daku Sumba, Bagaimana Kalau ….. Sejak puluhan tahun yang lalu (1974) Taufiq bekerja sama dengan Bimbo Group dalam penulisan lirik lagu. Kita bisa dengar nikmati lagu dan lirik Aisyah Adinda Kita, Sajadah Panjang, Balada Nabi-nabi, Bermata tapi Tak Melihat, Ibunda Swarga Kita, dan lain-lain dari dirinya. Taufiq Ismail juga menulis Sajak-sajak Si Toni, Balai-balai, Membaca Tanda-tanda, Abad ke-15 Hijriah, Rasa Santun yang Tidur, Puisi-puisi Langit.
Pada awal tahun 1994 diluncurkan buku antologi puisi berjudul Tirani dan Benteng cetak ulang dua kumpulan puisinya yang terkenal itu. Buku tersebut diberi pengantar oleh sang penyair secara cukup panjang dan mendalam. Di antara kata pengantar dan dua kumpulan sanjak tersebut disertakan pula dalam buku ini Sajak-sajak Menjelang Tirani dan Benteng. Pada tahun-tahun seputar Reformasi ditulisnya puisi berjudul Takut 98 dan antologi puisi Malu Aku Jadi Orang Indonesia (MAJOI) terbit tahun 1998. Bersama DS Mulyanto, rekan sastrawan Angkatan ’66, Taufiq Ismail mengeditori buku tebal berjudul Prahara Budaya (antologi esai, 1995), bersama LK Ara dan Hasyim Ks menyusun buku tebal juga berjudul Seulaweh Antologi Sastra Aceh (1995).
Bur Rasuanto, dilahirkan di Palembang, 6 April 1937, adalah pengarang, penyair, wartawan. Ia menulis kumpulan cerpen Bumi yang Berpeluh (1963) dan Mereka Akan Bangkit (1963). Bur Rasuanto juga menulis roman Sang Ayah (1969); Manusia Tanah Air (1969) dan novel Tuyet (1978).
Goenawan Mohamad, dilahirkan di Batang, 29 Juni 1941. Penyair, esais, wartawan, yang sampai sekarang menjadi pimpinan umum majalah Tempo ini termasuk penanda tangan Manifes Kebudayaan. GM adalah juga penerima Anugerah Seni pemerintah RI, penerima Hadiah A. Teeuw tahun 1992 dan Hadiah Sastra ASEAN tahun 1981.Di samping prestasi-prestasi di atas, GM pernah menjadi wartawan Harian KAMMI, anggota DKJ, pimred Express, pimred majalah Zaman, redaktur Horison, anggota Badan Sensor Film.
Ia menulis kumpulan sanjak Interlude, Parikesit (1971);kumpulan esai Seorang Penyair Muda Sebagai Si Malinkundang (1972); Catatan Pinggir I (1982), Catatan Pinggir 2 (1989), Catatan Pinggir 3 yang dihimpun dari majalah Tempo. Karyanya yang lain: Asmaradahana (kumpulan puisi, 1992); Seks, Sastra, Kita (kumpulan esai); Revolusi Belum Selesai” (kumpulan esai); Misalkan Kita di Serayewo (antologi puisi, 1998).
Subagio Sastrawardoyo, dilahirkan di Madiun, 1 Febuari 1924, meninggal di Jakarta, 18 Juli 1995. Penyair, pengarang, esais ini, pernah menjadi redaktur Balai Pustaka, dosen bahasa Indonesia di Adelaide, dosen FS UGM, SESKOAD Bandung, Universitas Flinders, Australia Selatan. I menulis kumpulan sanjak Simphoni (1957); Daerah Perbatasan, Kroncong Motenggo (1975). Kumpulan esainya berjudul Bakat Alam dan Intelektualisme (1972); ManusiaTerasing di Balik Simbolisme Sitor, Sosok Pribadi dalam Sajak (1980); antologi puisi Hari dan Hara; kumcerpen Kejantanan di Sumbing (1965). Cerpennya Kejantanan di Sumbing dan puisinya Dan Kematian Makin Akrab meraih penghargaan majalah Kisah dan Horison.
Sapardi Joko Damono, dilahirkan di Solo, 20 maret 1940, adalah penyair, esais, dosen dan Guru Besar FSUI. Ia menulis Duka-Mu Abadi (1969); Akwarium (1974); Mata Pisau (1974); Perahu Kertas (1983); Suddenly the Night (1988);Hujan Bulan Ini (1994). Semuanya kumpulan puisi. Ia juga penerjemah yang mengalihbahasakan The Old Man and The Sea nya Ernest Hermingway menjadi Lelaki Tua dan Laut (1973). Karya terjemahannya yang lain Lirik Persi Klasik (1977); Puisi Klasik Cina (1976); Puisi Brazilia Modern. Kumpulan esainya Novel Indonesia Sebelum Perang (1979); Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas (1978); Kesusastraan Indonesia Modern, Beberapa Catatan (1983); Sihir Rendra: Permainan Makna (1999); Politik Iodeologi dan sastra Hibrida (1999). Merefleksikan saat-saat Reformasi yang diterpa kerusuhan, penjarahan dan pembakaran gedung-gedung dan supermarket, sampai ada ratusan jiwa yang tewas terpanggang, Sapardi mengabadikan tragedi tersebut lewat antologi puisi Ayat-ayat Api (2000).
Titie Said Sadikun, dilahirkan di Bojonegoro, 11 Juli 1935. Pengarang dan wartawati yang pernah menjadi redaktur majalah Wanita, Hidup, Kartini, Famili ini menulis kumpulan cerpen Perjuangan dan Hati Perempuan (1962), novel Jangan Ambil Nyawaku (1977), Lembah Duka, Fatimah yang difilmkan menjadi Budak Nafsu, Reinkarnasi, Langit Hitam di Atas Ambarawa.
Arifin C. Noer, dilahirkan di Cirebon 10 Maret 1941, meninggal di Jakarta 28 Mei 1995. Penyair yang juga dramawan dan sutradara film ini menulis sanjak Dalam Langgar, Dalam Langgar Purwadinatan, naskah drama Telah Datang Ia, Telah Pergi Ia , Matahari di Sebuah Jalan Kecil , Monolog Prita Istri Kita dan Kasir Kita (1972, Tengul (1973), Kapai-kapai (1970), Mega-mega (1966), Umang-umang (1976), Sumur Tanpa Dasar (1975), Orkes Madun, Aa Ii Uu, Dalam Bayangan Tuhan atawa Interogasi, Ozon. Karya-karyanya yang lain: Nurul Aini (1963); Siti Aisah (1964); Puisi-puisi yang Kehilangan Puisi-puisi (1967); Selamat pagi, Jajang (1979); Nyanyian Sepi (1995); drama Lampu Neon (1963); Sepasang Pengantin (1968); Sandek,Pemuda Pekerja (1979)
Selain penyair dan dramawan yang memimpin Teater Kecil, Arifin C. Noer juga penulis skenario dan sutradara film yang andal. Karya skenarionya antara lain: G 30 S/PKI; Serangan Fajar; Taksi; Taksi Juga; Bibir Mer.
Film-film yang disutradarinya: Pemberang (1972); Rio Anakku (1973); Melawan badai (1974); Petualang-petualang (1978); Suci Sang Primadona (1978); Harmonikaku (1979). Pada tahun 1972 Arifin menerima Hadiah Seni dari Pemerintah RI dan pada tahun 1990 menerima Hadiah Sastra ASEAN.
Hartoyo Andangjaya, dilahirkan di Solo 4 Juli 1930, meninggal di kota ini juga pada 30 Agustus 1990. Penyair yang pernah menjadi guru SMP dan SMA di Solo dan Sumatra Barat ini menulis sanjak-sanjak terkenal berjudul Perempuan-perempuan Perkasa, Rakyat, juga Sebuah Lok Hitam, Buat Saudara Kandung. Sanjak-sanjak tersebut bisa dijumpai dalam bukunya Buku Puisi (1973). Musyawarah Burung (1983) adalah karya terjemahan liris prosaya tokoh sufi Fariduddin Attar. Seratusan puisi karya penyair sufi terbesar sepanjang sejarah, Maulana Jalaluddin Rumi, diambil dari Diwan Syamsi Tabriz, diterjemahkan dan dihimpunnya di bawah judul buku Kasidah Cinta.
Hartoyo juga menulis antologi puisi Simponi Puisi (bersama DS Mulyanto, 1954), Manifestasi (bersama Goenawan Mohamad dan Taufiq Ismail, 1963), kumpulan syair Dari Sunyi ke Bunyi (1991).Karya-karya terjemahannya: Tukang Kebun (Tagore, 1976), Kubur Terhormat bagi Pelaut (antologi puisi J. Slauerhoff, 1977), Rahasia hati (novel Natsume Suseki,1978); Puisi Arab Modern (1984).Hartoyo Andangjaya termasuk penanda tangan Manifes Kebudayaan.
Slamet Sukirnanto, dilahirkan di Solo 3 Maret 1941. Penyair ini menulis buku kumpulan puisi Kidung Putih(1967); Gema Otak Terbanting; Jaket Kuning (1967), Bunga Batu (1979), Catatan Suasana (1982), Luka Bunga (1991). Bersama A. Hamid Jabbar, Slamet mengeditori buku Parade Puisi Indonesia (1993). Dalam buku itu, termuat sanjak-sanjaknya: Rumah, Rumah Anak-anak Jalanan, Kayuh Tasbihku, Gergaji, Aku Tak Mau; Bersama Sutarji Calzoum Bachri dan Taufiq Ismail, Slamet menjadi editor buku Mimbar Penyair Abad 21.
Mohammad Diponegoro, dilahirkan di Yogya 28 Juni 1928, meninggal di kota yang sama 9 Mei 1982. Pengarang, dramawan, pendiri Teater Muslim, penyiar radio Australia ini menulis cerpen Kisah Seorang Prajurit, roman Siklus, terjemahan puitis juz Amma Pekabaran/Kabar Wigati (1977), kumpulan esai ketika ia menjadi redaktur Suara Muhammadiyah berjudul Yuk, Nulis Cerpen, Yuk (1985). Mohammad Diponegoro juga menulis antologi puisi bersama penyair lain bertajuk Manifestasi (1963), drama Surat pada Gubernur, Iblis (1983), buku esai Percik-percik Pemikiran Iqbal (1984), antologi cerpen Odah dan Cerita Lainnya (1986).
Hariyadi Sulaiman Hartowardoyo, dilahirkan di Prambanan, 18 Maret 1930, meninggal di Jakarta, 9 April 1984, mengarang roman Orang Buangan (1971), dan Perjanjian dengan Maut (1975), kumpulan sanjak Luka Bayang (1964), menerjemahkan epos Mahabharata. Hariyadi juga menulis buku astrologi Teropong Cinta (1984)
Satyagraha Hurip, dilahirkan di Lamongan 7 April 1934, meninggal di Jakarta 14 Oktober 1998, mengarang cerpen Pada Titik Kulminasi, kumcerpen Tentang Delapan Orang, novel Sepasang Suami Istri (1964), Resi Bisma (1960), serta menyunting antologi esai Sejumlah Masalah Sastra (1982). Karya-karyanya yang lain: Burung Api (cerita anak-anak, 1970); Sarinah Kembang Cikembang (kumcerpen, 1993). Satyagraha adalah editor buku Cerita Pendek Indonesia I – IV (1979) dan penulis terjemahan Keperluan Hidup Manusia (novel Leo Tolstoy, 1963).
Cerpen-cerpennya dimuat di Kompas, Republik, Matra, antara lain: Surat Kepada Gubernur, Sang Pengarang. Ia juga menulis kumpulan cerpen Gedono-Gedini (1990) dan Sesudah Bersih Desa (1989).
Titis Basino PI, dilahirkan di Magelang 17 Januari 1939, menulis cerpen Rumah Dara, novel Pelabuhan Hati (1978); Di Bumi Aku Bersua di Langit Aku Bertemu (1983); Bukan Rumahku (1983); Welas Asih Merengkuh Tajali (1997); Menyucikan Perselingkuhan (1998), Dari Lembah ke Coolibah (1997); Tersenyum pun Tidak untukku Lagi (1998); Aku Supiyah Istri Hardian (1998); Bila Binatang Buas Pindah Habitat (1999); Mawar Hitam Milik Laras (2000); Hari yang Baik (2000). Pada tahun 1999 Titis menerima Hadiah Sastra Mastera.
Bambang Sularto, dilahirkan di Purworejo 11 September 1934, meninggal di Yogyakarta tahun 1992, terkenal dengan dramanya Domba-domba Revolusi (1962). Juga ditulisnya novel Tanpa Nama (1963); Enam Jam di Yogya,drama tak Terpatahkan (1967); buku Teknik Menulis Lakon (1971)
Jamil Suherman, dilahirkan di Surabaya 24 April 1924, meninggal di Bandung 39 November 1985, mengarang roman Perjalanan ke Akhirat; kumcerpen Ummi Kulsum(1963), kumpulan sanjak Nafiri (1983), novel Pejuang-pejuang Kali Pepe (1984); Sarip Tambak Oso (1985) . Juga menulis drama yang sangat terkenal berjudul Mahkamah di Seberang Maut;
Umar Kayam, dilahirkan di Ngawi 30 Maret 1932, Guru Besar UGM sang budayawan dan pameran Bung Karno yang menulis kumcerpen Seribu Kunang-kunang di Manhattan (1972) dan Sri Sumarah dan Bawuk (1975).
Novelnya yang sangat terkenal berjudul Para Priyayi (1992) dan Jalan Menikung (2000). Karyanya yang lain berjudul Ke Solo ke Jati dan Bi Ijah, keduanya berbentuk cerpen, kumcerpen Parta Krama (1997), kumpulan esai Seni, Tradisi, Masyarakat (1981); kumpulan kolom Mangan Ora Mangan Kumpul, Sugih Tanpa Bandha, Madhep Ngalor Madhep Ngidul. Pada tahun 1987 Umar Kayam memperoleh Hadiah Sastra ASEAN
Budiman S. Hartoyo, dilahirkan di Solo 5 Desember 1938 menulis antologi puisi Lima Belas Puisi (1972) ; Sebelum Tidur (1977). Banyak menulis puisi-puisi religius, di antaranya puisi tentang pengalaman spiritualnya ketika ia beribadah haji ke Tanah Suci. Dalam bunga rampai Laut Biru Langit Biru susunan Ayip Rosidi bisa dibaca sanjak-sanjak sufistiknya antara lain: Jarak Itu pun Makin Menghampir, Bukalah Pintu Itu, Di depan-Mu Aku Sirna Mendebu.
Gerson Poyk, dilahirkan di Pulau Rote Timor 16 Juni 1931 mengarang novel Sang Guru (1971), kumcerpen Matias Anankari (1975), novelet Surat Cinta Rajagukguk, Cinta Pertama, Kecil Itu Indah Kecil Itu Cinta. Gerson juga menulis cerpen berjudul Bombai, Puting Beliung, Pak Begowan Filsuf Hati Nurani;.
Ramadhan K.H., dilahirkan di Bandung, 15 Maret 1927, meninggal di Cape Town, Afrika Selatan, 15 Maret 2006, adalah penyair, novelis, penerjemah. Sebentar berkuliah di ITB, pindah ke Akademi Dinas Luar Negeri, pernah bekerja di Sticusa Amsterdam, pernah menjadi redaktur majalah Kisah, Siasat, Budaya Jaya, anggota DKJ, direktur pelaksana DKJ., mengikuti Festival Penyair Internasional di Amsterdam tahun 1992, mewakili Indonesia dalam Kongres Penyair Sedunia dfi Taipeh tahun 1993, pernah bermukim di Falencia, Spanyol, Paris, Los Angeles, Jenewa, Bonn.
Ramadhan menulis kumpulan sanjak Priangan Si Jelita. Terkenal dengan romannya Royan Revolusi, novelnya Kemelut Hidup mengangkat tema sosial dengan mengetengahkan sebuah figur yang jujur, seperti Si Mamad nya Syuman Jaya. Novelnya yang lain berjudul Keluarga Permana, dari perjalanan cinta Inggit Ganarsih dengan Bung Karno, ditulisnya roman biografi Kuantar Ke Gerbang. Karya-karya Frederico Garsia Lorca, sastrawan Spanyol, diterjemahkan menjadi Romansa Kaum Gitana.
Ramadhan menulis novel yang mengasosiasikan pembaca pada korupsi yang terjadi di Pertamina berjudul Ladang Perminus Bersama G. Dwipayana, Ramadhan menulis otobiografi Suharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindak Saya.
Muhammad Saribi Afn, dilahirkan di Klaten 15 Desember 1936, penyair dengan kumpulan sanjaknya Gema Lembah Cahaya (1963). Karyanya yang lain, sebuah antologi bersama penyair-penyair Islam berjudul Manifestasi. Di Panji Masyarakat, ia menulis puisi panjang Yang Paling Manis ialah Kata. Dari mendengarkan kuliah subuh Buya HAMKA, lahirlah bukunya Hamka Berkisah tentang Nabi dan Rasul.
Mansur Samin, dilahirkan di Batangtoru Sumatra Utara 29 April 1930, penyair, pengarang cerita kanak-kanak, wartawan, guru. Kumpulan sanjaknya Perlawanan (1966) dan Tanah Air (1969) merupakan sanjak-sanjak demonstrasi atau rekaman peristiwa kebangkitan Orde Baru, sebagaimana Tirani dan Benteng karya Taufiq Ismail dan Mereka Telah Bangkit karya Bur Rasuanto. Juga menulis antologi puisi Dendang Kabut Senja (1969), Sajak-sajak Putih (1996), drama Kebinasaan Negeri Senja (1968) Cerkan-cerkannya antara lain: Si Bawang, Telaga di Kaki Bukit, Gadis Sunyi, Empat Saudara, Berlomba dengan Senja.
Rahmat Joko Pradopo, dilahirkan di Klaten 3 November 1939, penyair yang juga Guru Besar dari Fakultas Sastra UGM. Ditulisnya antologi puisi Matahari Pagi di Tanah Air (1967), Hutan Bunga (1990); Jendela Terbuka (1993). Sebagai ahli sastra, Rahmat menulis buku berjudul Pengkajian Puisi (1987); Bahasa Puisi Nyanyi Sunyi dan Deru Campur Debu (1982); Beberapa Teori Sastra, Metode Kreitik dan Penerapannya (1995).
__________
Yant Mujiyanto, dkk.
IKHTISAR SEJARAH SASTRA INDONESIA, diterbitkan oleh UNS Press
Penyair ini terkenal dengan kumpulan sanjak Tirani dan Benteng, tertbit tahun 1966. Sanjak berjudul Seorang Tukang Rambutan dan Istrinya, Karangan Bunga, Sebuah Jaket Berlumur Darah, Kami adalah Pemilik Sah Republik Ini, Yang Kami Minta Hanyalah…bisa dijumpai dalam buku-buku tersebut. Kumpulan sanjaknya yang lain, Sajak Ladang Jagung (1973) terbit setelah ia pulang dari Amerika. Dalam buku tersebut, kita bisa membaca Kembalikan Indonesia Padaku, Beri Daku Sumba, Bagaimana Kalau ….. Sejak puluhan tahun yang lalu (1974) Taufiq bekerja sama dengan Bimbo Group dalam penulisan lirik lagu. Kita bisa dengar nikmati lagu dan lirik Aisyah Adinda Kita, Sajadah Panjang, Balada Nabi-nabi, Bermata tapi Tak Melihat, Ibunda Swarga Kita, dan lain-lain dari dirinya. Taufiq Ismail juga menulis Sajak-sajak Si Toni, Balai-balai, Membaca Tanda-tanda, Abad ke-15 Hijriah, Rasa Santun yang Tidur, Puisi-puisi Langit.
Pada awal tahun 1994 diluncurkan buku antologi puisi berjudul Tirani dan Benteng cetak ulang dua kumpulan puisinya yang terkenal itu. Buku tersebut diberi pengantar oleh sang penyair secara cukup panjang dan mendalam. Di antara kata pengantar dan dua kumpulan sanjak tersebut disertakan pula dalam buku ini Sajak-sajak Menjelang Tirani dan Benteng. Pada tahun-tahun seputar Reformasi ditulisnya puisi berjudul Takut 98 dan antologi puisi Malu Aku Jadi Orang Indonesia (MAJOI) terbit tahun 1998. Bersama DS Mulyanto, rekan sastrawan Angkatan ’66, Taufiq Ismail mengeditori buku tebal berjudul Prahara Budaya (antologi esai, 1995), bersama LK Ara dan Hasyim Ks menyusun buku tebal juga berjudul Seulaweh Antologi Sastra Aceh (1995).
Bur Rasuanto, dilahirkan di Palembang, 6 April 1937, adalah pengarang, penyair, wartawan. Ia menulis kumpulan cerpen Bumi yang Berpeluh (1963) dan Mereka Akan Bangkit (1963). Bur Rasuanto juga menulis roman Sang Ayah (1969); Manusia Tanah Air (1969) dan novel Tuyet (1978).
Goenawan Mohamad, dilahirkan di Batang, 29 Juni 1941. Penyair, esais, wartawan, yang sampai sekarang menjadi pimpinan umum majalah Tempo ini termasuk penanda tangan Manifes Kebudayaan. GM adalah juga penerima Anugerah Seni pemerintah RI, penerima Hadiah A. Teeuw tahun 1992 dan Hadiah Sastra ASEAN tahun 1981.Di samping prestasi-prestasi di atas, GM pernah menjadi wartawan Harian KAMMI, anggota DKJ, pimred Express, pimred majalah Zaman, redaktur Horison, anggota Badan Sensor Film.
Ia menulis kumpulan sanjak Interlude, Parikesit (1971);kumpulan esai Seorang Penyair Muda Sebagai Si Malinkundang (1972); Catatan Pinggir I (1982), Catatan Pinggir 2 (1989), Catatan Pinggir 3 yang dihimpun dari majalah Tempo. Karyanya yang lain: Asmaradahana (kumpulan puisi, 1992); Seks, Sastra, Kita (kumpulan esai); Revolusi Belum Selesai” (kumpulan esai); Misalkan Kita di Serayewo (antologi puisi, 1998).
Subagio Sastrawardoyo, dilahirkan di Madiun, 1 Febuari 1924, meninggal di Jakarta, 18 Juli 1995. Penyair, pengarang, esais ini, pernah menjadi redaktur Balai Pustaka, dosen bahasa Indonesia di Adelaide, dosen FS UGM, SESKOAD Bandung, Universitas Flinders, Australia Selatan. I menulis kumpulan sanjak Simphoni (1957); Daerah Perbatasan, Kroncong Motenggo (1975). Kumpulan esainya berjudul Bakat Alam dan Intelektualisme (1972); ManusiaTerasing di Balik Simbolisme Sitor, Sosok Pribadi dalam Sajak (1980); antologi puisi Hari dan Hara; kumcerpen Kejantanan di Sumbing (1965). Cerpennya Kejantanan di Sumbing dan puisinya Dan Kematian Makin Akrab meraih penghargaan majalah Kisah dan Horison.
Sapardi Joko Damono, dilahirkan di Solo, 20 maret 1940, adalah penyair, esais, dosen dan Guru Besar FSUI. Ia menulis Duka-Mu Abadi (1969); Akwarium (1974); Mata Pisau (1974); Perahu Kertas (1983); Suddenly the Night (1988);Hujan Bulan Ini (1994). Semuanya kumpulan puisi. Ia juga penerjemah yang mengalihbahasakan The Old Man and The Sea nya Ernest Hermingway menjadi Lelaki Tua dan Laut (1973). Karya terjemahannya yang lain Lirik Persi Klasik (1977); Puisi Klasik Cina (1976); Puisi Brazilia Modern. Kumpulan esainya Novel Indonesia Sebelum Perang (1979); Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas (1978); Kesusastraan Indonesia Modern, Beberapa Catatan (1983); Sihir Rendra: Permainan Makna (1999); Politik Iodeologi dan sastra Hibrida (1999). Merefleksikan saat-saat Reformasi yang diterpa kerusuhan, penjarahan dan pembakaran gedung-gedung dan supermarket, sampai ada ratusan jiwa yang tewas terpanggang, Sapardi mengabadikan tragedi tersebut lewat antologi puisi Ayat-ayat Api (2000).
Titie Said Sadikun, dilahirkan di Bojonegoro, 11 Juli 1935. Pengarang dan wartawati yang pernah menjadi redaktur majalah Wanita, Hidup, Kartini, Famili ini menulis kumpulan cerpen Perjuangan dan Hati Perempuan (1962), novel Jangan Ambil Nyawaku (1977), Lembah Duka, Fatimah yang difilmkan menjadi Budak Nafsu, Reinkarnasi, Langit Hitam di Atas Ambarawa.
Arifin C. Noer, dilahirkan di Cirebon 10 Maret 1941, meninggal di Jakarta 28 Mei 1995. Penyair yang juga dramawan dan sutradara film ini menulis sanjak Dalam Langgar, Dalam Langgar Purwadinatan, naskah drama Telah Datang Ia, Telah Pergi Ia , Matahari di Sebuah Jalan Kecil , Monolog Prita Istri Kita dan Kasir Kita (1972, Tengul (1973), Kapai-kapai (1970), Mega-mega (1966), Umang-umang (1976), Sumur Tanpa Dasar (1975), Orkes Madun, Aa Ii Uu, Dalam Bayangan Tuhan atawa Interogasi, Ozon. Karya-karyanya yang lain: Nurul Aini (1963); Siti Aisah (1964); Puisi-puisi yang Kehilangan Puisi-puisi (1967); Selamat pagi, Jajang (1979); Nyanyian Sepi (1995); drama Lampu Neon (1963); Sepasang Pengantin (1968); Sandek,Pemuda Pekerja (1979)
Selain penyair dan dramawan yang memimpin Teater Kecil, Arifin C. Noer juga penulis skenario dan sutradara film yang andal. Karya skenarionya antara lain: G 30 S/PKI; Serangan Fajar; Taksi; Taksi Juga; Bibir Mer.
Film-film yang disutradarinya: Pemberang (1972); Rio Anakku (1973); Melawan badai (1974); Petualang-petualang (1978); Suci Sang Primadona (1978); Harmonikaku (1979). Pada tahun 1972 Arifin menerima Hadiah Seni dari Pemerintah RI dan pada tahun 1990 menerima Hadiah Sastra ASEAN.
Hartoyo Andangjaya, dilahirkan di Solo 4 Juli 1930, meninggal di kota ini juga pada 30 Agustus 1990. Penyair yang pernah menjadi guru SMP dan SMA di Solo dan Sumatra Barat ini menulis sanjak-sanjak terkenal berjudul Perempuan-perempuan Perkasa, Rakyat, juga Sebuah Lok Hitam, Buat Saudara Kandung. Sanjak-sanjak tersebut bisa dijumpai dalam bukunya Buku Puisi (1973). Musyawarah Burung (1983) adalah karya terjemahan liris prosaya tokoh sufi Fariduddin Attar. Seratusan puisi karya penyair sufi terbesar sepanjang sejarah, Maulana Jalaluddin Rumi, diambil dari Diwan Syamsi Tabriz, diterjemahkan dan dihimpunnya di bawah judul buku Kasidah Cinta.
Hartoyo juga menulis antologi puisi Simponi Puisi (bersama DS Mulyanto, 1954), Manifestasi (bersama Goenawan Mohamad dan Taufiq Ismail, 1963), kumpulan syair Dari Sunyi ke Bunyi (1991).Karya-karya terjemahannya: Tukang Kebun (Tagore, 1976), Kubur Terhormat bagi Pelaut (antologi puisi J. Slauerhoff, 1977), Rahasia hati (novel Natsume Suseki,1978); Puisi Arab Modern (1984).Hartoyo Andangjaya termasuk penanda tangan Manifes Kebudayaan.
Slamet Sukirnanto, dilahirkan di Solo 3 Maret 1941. Penyair ini menulis buku kumpulan puisi Kidung Putih(1967); Gema Otak Terbanting; Jaket Kuning (1967), Bunga Batu (1979), Catatan Suasana (1982), Luka Bunga (1991). Bersama A. Hamid Jabbar, Slamet mengeditori buku Parade Puisi Indonesia (1993). Dalam buku itu, termuat sanjak-sanjaknya: Rumah, Rumah Anak-anak Jalanan, Kayuh Tasbihku, Gergaji, Aku Tak Mau; Bersama Sutarji Calzoum Bachri dan Taufiq Ismail, Slamet menjadi editor buku Mimbar Penyair Abad 21.
Mohammad Diponegoro, dilahirkan di Yogya 28 Juni 1928, meninggal di kota yang sama 9 Mei 1982. Pengarang, dramawan, pendiri Teater Muslim, penyiar radio Australia ini menulis cerpen Kisah Seorang Prajurit, roman Siklus, terjemahan puitis juz Amma Pekabaran/Kabar Wigati (1977), kumpulan esai ketika ia menjadi redaktur Suara Muhammadiyah berjudul Yuk, Nulis Cerpen, Yuk (1985). Mohammad Diponegoro juga menulis antologi puisi bersama penyair lain bertajuk Manifestasi (1963), drama Surat pada Gubernur, Iblis (1983), buku esai Percik-percik Pemikiran Iqbal (1984), antologi cerpen Odah dan Cerita Lainnya (1986).
Hariyadi Sulaiman Hartowardoyo, dilahirkan di Prambanan, 18 Maret 1930, meninggal di Jakarta, 9 April 1984, mengarang roman Orang Buangan (1971), dan Perjanjian dengan Maut (1975), kumpulan sanjak Luka Bayang (1964), menerjemahkan epos Mahabharata. Hariyadi juga menulis buku astrologi Teropong Cinta (1984)
Satyagraha Hurip, dilahirkan di Lamongan 7 April 1934, meninggal di Jakarta 14 Oktober 1998, mengarang cerpen Pada Titik Kulminasi, kumcerpen Tentang Delapan Orang, novel Sepasang Suami Istri (1964), Resi Bisma (1960), serta menyunting antologi esai Sejumlah Masalah Sastra (1982). Karya-karyanya yang lain: Burung Api (cerita anak-anak, 1970); Sarinah Kembang Cikembang (kumcerpen, 1993). Satyagraha adalah editor buku Cerita Pendek Indonesia I – IV (1979) dan penulis terjemahan Keperluan Hidup Manusia (novel Leo Tolstoy, 1963).
Cerpen-cerpennya dimuat di Kompas, Republik, Matra, antara lain: Surat Kepada Gubernur, Sang Pengarang. Ia juga menulis kumpulan cerpen Gedono-Gedini (1990) dan Sesudah Bersih Desa (1989).
Titis Basino PI, dilahirkan di Magelang 17 Januari 1939, menulis cerpen Rumah Dara, novel Pelabuhan Hati (1978); Di Bumi Aku Bersua di Langit Aku Bertemu (1983); Bukan Rumahku (1983); Welas Asih Merengkuh Tajali (1997); Menyucikan Perselingkuhan (1998), Dari Lembah ke Coolibah (1997); Tersenyum pun Tidak untukku Lagi (1998); Aku Supiyah Istri Hardian (1998); Bila Binatang Buas Pindah Habitat (1999); Mawar Hitam Milik Laras (2000); Hari yang Baik (2000). Pada tahun 1999 Titis menerima Hadiah Sastra Mastera.
Bambang Sularto, dilahirkan di Purworejo 11 September 1934, meninggal di Yogyakarta tahun 1992, terkenal dengan dramanya Domba-domba Revolusi (1962). Juga ditulisnya novel Tanpa Nama (1963); Enam Jam di Yogya,drama tak Terpatahkan (1967); buku Teknik Menulis Lakon (1971)
Jamil Suherman, dilahirkan di Surabaya 24 April 1924, meninggal di Bandung 39 November 1985, mengarang roman Perjalanan ke Akhirat; kumcerpen Ummi Kulsum(1963), kumpulan sanjak Nafiri (1983), novel Pejuang-pejuang Kali Pepe (1984); Sarip Tambak Oso (1985) . Juga menulis drama yang sangat terkenal berjudul Mahkamah di Seberang Maut;
Umar Kayam, dilahirkan di Ngawi 30 Maret 1932, Guru Besar UGM sang budayawan dan pameran Bung Karno yang menulis kumcerpen Seribu Kunang-kunang di Manhattan (1972) dan Sri Sumarah dan Bawuk (1975).
Novelnya yang sangat terkenal berjudul Para Priyayi (1992) dan Jalan Menikung (2000). Karyanya yang lain berjudul Ke Solo ke Jati dan Bi Ijah, keduanya berbentuk cerpen, kumcerpen Parta Krama (1997), kumpulan esai Seni, Tradisi, Masyarakat (1981); kumpulan kolom Mangan Ora Mangan Kumpul, Sugih Tanpa Bandha, Madhep Ngalor Madhep Ngidul. Pada tahun 1987 Umar Kayam memperoleh Hadiah Sastra ASEAN
Budiman S. Hartoyo, dilahirkan di Solo 5 Desember 1938 menulis antologi puisi Lima Belas Puisi (1972) ; Sebelum Tidur (1977). Banyak menulis puisi-puisi religius, di antaranya puisi tentang pengalaman spiritualnya ketika ia beribadah haji ke Tanah Suci. Dalam bunga rampai Laut Biru Langit Biru susunan Ayip Rosidi bisa dibaca sanjak-sanjak sufistiknya antara lain: Jarak Itu pun Makin Menghampir, Bukalah Pintu Itu, Di depan-Mu Aku Sirna Mendebu.
Gerson Poyk, dilahirkan di Pulau Rote Timor 16 Juni 1931 mengarang novel Sang Guru (1971), kumcerpen Matias Anankari (1975), novelet Surat Cinta Rajagukguk, Cinta Pertama, Kecil Itu Indah Kecil Itu Cinta. Gerson juga menulis cerpen berjudul Bombai, Puting Beliung, Pak Begowan Filsuf Hati Nurani;.
Ramadhan K.H., dilahirkan di Bandung, 15 Maret 1927, meninggal di Cape Town, Afrika Selatan, 15 Maret 2006, adalah penyair, novelis, penerjemah. Sebentar berkuliah di ITB, pindah ke Akademi Dinas Luar Negeri, pernah bekerja di Sticusa Amsterdam, pernah menjadi redaktur majalah Kisah, Siasat, Budaya Jaya, anggota DKJ, direktur pelaksana DKJ., mengikuti Festival Penyair Internasional di Amsterdam tahun 1992, mewakili Indonesia dalam Kongres Penyair Sedunia dfi Taipeh tahun 1993, pernah bermukim di Falencia, Spanyol, Paris, Los Angeles, Jenewa, Bonn.
Ramadhan menulis kumpulan sanjak Priangan Si Jelita. Terkenal dengan romannya Royan Revolusi, novelnya Kemelut Hidup mengangkat tema sosial dengan mengetengahkan sebuah figur yang jujur, seperti Si Mamad nya Syuman Jaya. Novelnya yang lain berjudul Keluarga Permana, dari perjalanan cinta Inggit Ganarsih dengan Bung Karno, ditulisnya roman biografi Kuantar Ke Gerbang. Karya-karya Frederico Garsia Lorca, sastrawan Spanyol, diterjemahkan menjadi Romansa Kaum Gitana.
Ramadhan menulis novel yang mengasosiasikan pembaca pada korupsi yang terjadi di Pertamina berjudul Ladang Perminus Bersama G. Dwipayana, Ramadhan menulis otobiografi Suharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindak Saya.
Muhammad Saribi Afn, dilahirkan di Klaten 15 Desember 1936, penyair dengan kumpulan sanjaknya Gema Lembah Cahaya (1963). Karyanya yang lain, sebuah antologi bersama penyair-penyair Islam berjudul Manifestasi. Di Panji Masyarakat, ia menulis puisi panjang Yang Paling Manis ialah Kata. Dari mendengarkan kuliah subuh Buya HAMKA, lahirlah bukunya Hamka Berkisah tentang Nabi dan Rasul.
Mansur Samin, dilahirkan di Batangtoru Sumatra Utara 29 April 1930, penyair, pengarang cerita kanak-kanak, wartawan, guru. Kumpulan sanjaknya Perlawanan (1966) dan Tanah Air (1969) merupakan sanjak-sanjak demonstrasi atau rekaman peristiwa kebangkitan Orde Baru, sebagaimana Tirani dan Benteng karya Taufiq Ismail dan Mereka Telah Bangkit karya Bur Rasuanto. Juga menulis antologi puisi Dendang Kabut Senja (1969), Sajak-sajak Putih (1996), drama Kebinasaan Negeri Senja (1968) Cerkan-cerkannya antara lain: Si Bawang, Telaga di Kaki Bukit, Gadis Sunyi, Empat Saudara, Berlomba dengan Senja.
Rahmat Joko Pradopo, dilahirkan di Klaten 3 November 1939, penyair yang juga Guru Besar dari Fakultas Sastra UGM. Ditulisnya antologi puisi Matahari Pagi di Tanah Air (1967), Hutan Bunga (1990); Jendela Terbuka (1993). Sebagai ahli sastra, Rahmat menulis buku berjudul Pengkajian Puisi (1987); Bahasa Puisi Nyanyi Sunyi dan Deru Campur Debu (1982); Beberapa Teori Sastra, Metode Kreitik dan Penerapannya (1995).
__________
Yant Mujiyanto, dkk.
IKHTISAR SEJARAH SASTRA INDONESIA, diterbitkan oleh UNS Press
Berjagalah terus
Segala kemungkinan bisa terjadi
Malam ini
Maukah kita dikutuk anak-cucu
Menjelang akhir abad ini
Karena kita kini berserah diri?
Tidak. Tidak bisa
Tujuh korban telah jatuh. Dibunuh
Ada pula mayat adik-adik kita yang dicuri
Dipaksa untuk tidak dimakamkan semestinya
Apakah kita hanya akan bernafas panjang Dan seperti biasa: sabar mengurut dada?
Tidak. Tidak bisa
Dengarkan. Dengarkanlah di luar itu
Suara doa berjuta-juta
Rakyat yang resah dan menanti
Mereka telah menanti lama sekali
Menderita dalam nyeri
Mereka sedang berdoa malam ini
Dengar. Dengarlah hati-hati.
____
1966
Segala kemungkinan bisa terjadi
Malam ini
Maukah kita dikutuk anak-cucu
Menjelang akhir abad ini
Karena kita kini berserah diri?
Tidak. Tidak bisa
Tujuh korban telah jatuh. Dibunuh
Ada pula mayat adik-adik kita yang dicuri
Dipaksa untuk tidak dimakamkan semestinya
Apakah kita hanya akan bernafas panjang Dan seperti biasa: sabar mengurut dada?
Tidak. Tidak bisa
Dengarkan. Dengarkanlah di luar itu
Suara doa berjuta-juta
Rakyat yang resah dan menanti
Mereka telah menanti lama sekali
Menderita dalam nyeri
Mereka sedang berdoa malam ini
Dengar. Dengarlah hati-hati.
____
1966
Pengkhianatan itu telah terjadi
Pengkhlanatan itu terjadi pada tanggal 9 Maret
Ada manager-manager politik
Ada despot yang lalim
Ada ruang sidang dalam istana
Ada hulubalang
Serta senjata-senjata
Senjata imajiner telah dibidikkan ke kepala mereka tapi la la la
di sana tak ada kepala
tapi hu hu hu “
tak ada kepala di atas bahu
Adalah tempolong ludah
Sipoa kantor dagang
Keranjang sampah
Melayang layang
Ada pernyataan otomatik
Ada penjara dan maut imajiner
Generasi yang kocak
Usahawan-usahawan politik yang kocak…
Ruang sidang dalam istana
La la la
tempolong ludah tak berkepala
Hu hu hu
keranjang sampah di atas bahu
Angin menerbangkan kertas-kertas statemen Terbang
Melayang layang.
____
1966
Pengkhlanatan itu terjadi pada tanggal 9 Maret
Ada manager-manager politik
Ada despot yang lalim
Ada ruang sidang dalam istana
Ada hulubalang
Serta senjata-senjata
Senjata imajiner telah dibidikkan ke kepala mereka tapi la la la
di sana tak ada kepala
tapi hu hu hu “
tak ada kepala di atas bahu
Adalah tempolong ludah
Sipoa kantor dagang
Keranjang sampah
Melayang layang
Ada pernyataan otomatik
Ada penjara dan maut imajiner
Generasi yang kocak
Usahawan-usahawan politik yang kocak…
Ruang sidang dalam istana
La la la
tempolong ludah tak berkepala
Hu hu hu
keranjang sampah di atas bahu
Angin menerbangkan kertas-kertas statemen Terbang
Melayang layang.
____
1966
Sesudah siang panas yang meletihkan
Sehabis tembakan-tembakan yang tak bisa kita balas
Dan kita kembali ke kampus ini berlindung
Bersandar dan berbaring, ada yang merenung
Di lantai bungkus nasi bertebaran
Dari para dermawan tidak dikenal
Kulit duku dan pecahan kulit rambutan
Lewatlah di samping Kontingen Bandung
Ada yang berjaket Bogor. Mereka dari mana-mana
Semuanya kumal, semuanya tak bicara
Tapi kita tldak akan terpatahkan
Oleh seribu senjata dari seribu tiran
Tak sempat lagi kita pikirkan
Keperluan-keperluan kecil seharian
Studi, kamar-tumpangan dan percintaan
Kita tak tahu apa yang akan terjadi sebentar malam
Kita mesti siap saban waktu, siap saban jam.
____
1966
Sehabis tembakan-tembakan yang tak bisa kita balas
Dan kita kembali ke kampus ini berlindung
Bersandar dan berbaring, ada yang merenung
Di lantai bungkus nasi bertebaran
Dari para dermawan tidak dikenal
Kulit duku dan pecahan kulit rambutan
Lewatlah di samping Kontingen Bandung
Ada yang berjaket Bogor. Mereka dari mana-mana
Semuanya kumal, semuanya tak bicara
Tapi kita tldak akan terpatahkan
Oleh seribu senjata dari seribu tiran
Tak sempat lagi kita pikirkan
Keperluan-keperluan kecil seharian
Studi, kamar-tumpangan dan percintaan
Kita tak tahu apa yang akan terjadi sebentar malam
Kita mesti siap saban waktu, siap saban jam.
____
1966
Kali pertama, di halaman kampus, pagi itu
Telah berkibar bendera laskar
Berkibar putih bagai mega
Dengan garis-garis yang merah
Karena telah dibayar dengan darah
Dia telah mendengar teriakan kita
Sepanjang jalan-jalan raya
Di atas truk tanpa tenda
Di atas jip, di depan pawai-pawai semua
Dia selalu mendahului kita
Dalam setiap gerakan
Kepadanya berbagi nestapa kita
Duka setengah tiang
Duka sejarah rnanusia
Yang telah lama dihinakan
Dan dimelaratkan
Di depan markas, berkibar bendera laskar
Kami semua melambaimu
Hai kawan dan lambang kami yang setia
Lambailah sejarah dari atas sana
Buat kami satu laskar
Buat generasi yang kukuh dan kekar.
____
1966
Telah berkibar bendera laskar
Berkibar putih bagai mega
Dengan garis-garis yang merah
Karena telah dibayar dengan darah
Dia telah mendengar teriakan kita
Sepanjang jalan-jalan raya
Di atas truk tanpa tenda
Di atas jip, di depan pawai-pawai semua
Dia selalu mendahului kita
Dalam setiap gerakan
Kepadanya berbagi nestapa kita
Duka setengah tiang
Duka sejarah rnanusia
Yang telah lama dihinakan
Dan dimelaratkan
Di depan markas, berkibar bendera laskar
Kami semua melambaimu
Hai kawan dan lambang kami yang setia
Lambailah sejarah dari atas sana
Buat kami satu laskar
Buat generasi yang kukuh dan kekar.
____
1966
Sejarah telah singgah
Ke kemah kami
Ia menegur sangat ramah
Dan mengajak kami pergi
“Saya sudah mengetuk-ngetuk
Pintu yang lain,”
Katanya
‘Tapi amat heran
Mereka berkali-kali menolakku
Di ambang pintu.”
Klni kami beratus-ribu
Mengiringkan langkah Sejarah
Dalam langkah yang seru
Dan semakin cepat
Semakin dahsyat
Menderu-deru
Dalam angin berputar
Badai peluru
Topan bukit batu!
____
1966
Ke kemah kami
Ia menegur sangat ramah
Dan mengajak kami pergi
“Saya sudah mengetuk-ngetuk
Pintu yang lain,”
Katanya
‘Tapi amat heran
Mereka berkali-kali menolakku
Di ambang pintu.”
Klni kami beratus-ribu
Mengiringkan langkah Sejarah
Dalam langkah yang seru
Dan semakin cepat
Semakin dahsyat
Menderu-deru
Dalam angin berputar
Badai peluru
Topan bukit batu!
____
1966
Momentum telah dicapai. Kita
Dalam estafet amat panjang
Menyebar benih ini di bumi
Telah sama berteguh hati
Adikku Kappi, engkau sangat muda
Mari kita berpacu dengan sejarah
Dan kini engkau di muka
___
1966
Dalam estafet amat panjang
Menyebar benih ini di bumi
Telah sama berteguh hati
Adikku Kappi, engkau sangat muda
Mari kita berpacu dengan sejarah
Dan kini engkau di muka
___
1966
Kini anak-anak itu telah berpawai pula
Dipanggang panas matahari ibukota
Setiap lewat depan kampus berpagar senjata
Mereka berteriak dengan suara tinggi
“Hidup kakak-kakak kami!”
Mereka telah direlakan ibu bapa
Warganegara biasa negeri ini
Yang melepas dengan doa
Setiap pagi
Kaki-kaki kecil yang tak kenal lelah
Kini telah melangkahkan sejarah.
____
1966
Dipanggang panas matahari ibukota
Setiap lewat depan kampus berpagar senjata
Mereka berteriak dengan suara tinggi
“Hidup kakak-kakak kami!”
Mereka telah direlakan ibu bapa
Warganegara biasa negeri ini
Yang melepas dengan doa
Setiap pagi
Kaki-kaki kecil yang tak kenal lelah
Kini telah melangkahkan sejarah.
____
1966
Gerimis telah menangis
Di atas bumi yang lelah
Angin jalanan yang panjang
Tak ada rumah. KIta tak berumah
Kita hanya bayang-bayang
Gerimis telah menangis
Di atas bumi yang letih
Di atas jasad yang pedih
Kita lapar. Kita amat lapar
Bayang-bayang yang lapar
Gerimis telah menangis
Di atas bumi yang sepi
Sehabis pawai genderang
Angin jalanan yang panjang
Menyusup-nyusup
Menusuk-nusuk
Bayang-bayang berjuta
Berjuta bayang-bayang
Di bawah bayangan pilar
Di bawah bayangan emas
Berjuta bayang-bayang
Menangisi gerimis
Menangisi gunung api
Kabut yang ungu
Membelai perlahan
Hutan-hutan
Di selatan.
_______
Juli 1965
Di atas bumi yang lelah
Angin jalanan yang panjang
Tak ada rumah. KIta tak berumah
Kita hanya bayang-bayang
Gerimis telah menangis
Di atas bumi yang letih
Di atas jasad yang pedih
Kita lapar. Kita amat lapar
Bayang-bayang yang lapar
Gerimis telah menangis
Di atas bumi yang sepi
Sehabis pawai genderang
Angin jalanan yang panjang
Menyusup-nyusup
Menusuk-nusuk
Bayang-bayang berjuta
Berjuta bayang-bayang
Di bawah bayangan pilar
Di bawah bayangan emas
Berjuta bayang-bayang
Menangisi gerimis
Menangisi gunung api
Kabut yang ungu
Membelai perlahan
Hutan-hutan
Di selatan.
_______
Juli 1965
Bagaimana kalau dulu bukan khuldi yang dimakan Adam,
tapi buah alpukat,
Bagaimana kalau bumi bukan bulat tapi segi empat,
Bagaimana kalau lagu Indonesia Raya kita rubah,
dan kepada Koes Plus kita beri mandat,
Bagaimana kalau ibukota Amerika Hanoi,
dan ibukota Indonesia Monaco,
Bagaimana kalau malam nanti jam sebelas,
salju turun di Gunung Sahari,
Bagaimana kalau bisa dibuktikan bahwa Ali Murtopo, Ali Sadikin
dan Ali Wardhana ternyata pengarang-pengarang lagu pop,
Bagaimana kalau hutang-hutang Indonesia
dibayar dengan pementasan Rendra,
Bagaimana kalau segala yang kita angankan terjadi,
dan segala yang terjadi pernah kita rancangkan,
Bagaimana kalau akustik dunia jadi sedemikian sempurnanya sehingga di
kamar tidur kau dengar deru bom Vietnam, gemersik sejuta kaki
pengungsi, gemuruh banjir dan gempa bumi sera suara-suara
percintaan anak muda, juga bunyi industri presisi dan
margasatwa Afrika,
Bagaimana kalau pemerintah diizinkan protes dan rakyat kecil
mempertimbangkan protes itu,
Bagaimana kalau kesenian dihentikan saja sampai di sini dan kita
pelihara ternak sebagai pengganti
Bagaimana kalau sampai waktunya
kita tidak perlu bertanya bagaimana lagi.
(1971)
tapi buah alpukat,
Bagaimana kalau bumi bukan bulat tapi segi empat,
Bagaimana kalau lagu Indonesia Raya kita rubah,
dan kepada Koes Plus kita beri mandat,
Bagaimana kalau ibukota Amerika Hanoi,
dan ibukota Indonesia Monaco,
Bagaimana kalau malam nanti jam sebelas,
salju turun di Gunung Sahari,
Bagaimana kalau bisa dibuktikan bahwa Ali Murtopo, Ali Sadikin
dan Ali Wardhana ternyata pengarang-pengarang lagu pop,
Bagaimana kalau hutang-hutang Indonesia
dibayar dengan pementasan Rendra,
Bagaimana kalau segala yang kita angankan terjadi,
dan segala yang terjadi pernah kita rancangkan,
Bagaimana kalau akustik dunia jadi sedemikian sempurnanya sehingga di
kamar tidur kau dengar deru bom Vietnam, gemersik sejuta kaki
pengungsi, gemuruh banjir dan gempa bumi sera suara-suara
percintaan anak muda, juga bunyi industri presisi dan
margasatwa Afrika,
Bagaimana kalau pemerintah diizinkan protes dan rakyat kecil
mempertimbangkan protes itu,
Bagaimana kalau kesenian dihentikan saja sampai di sini dan kita
pelihara ternak sebagai pengganti
Bagaimana kalau sampai waktunya
kita tidak perlu bertanya bagaimana lagi.
(1971)